SINOPSIS
PAPA
By Line : Butuh lebih dari mengerti
untuk bisa memahami
Cuaca
cerah di hari minggu ini. Fajarnya membangunkan insan yang habis terlelap
kelelahan. Dayu Mandira, gadis kecil berusia 6 tahun ini terbangun dengan
senyum di wajahnya. Hari itu ia sangat senang, karena Papa berjanji untuk
membawanya ke rumah nenek. Sudah lama ia tak berkunjung ke sana, dan ia sudah
tidak sabar. Mandira adalah anak satu-satunya dari sebuah keluarga kecil
sederhana. Ia sudah biasa ditinggal sendiri di siang hari ketika ayah-ibunya
bekerja, tapi ia tak pernah mengeluh karena sebagai gadis kecil hidup sudah
menempanya untuk mendewasa untuk mengerti bahwa keadaan memang harus demikian.
Hari
itu, seperti janjinya, Papa membawa Mandira ke Desa Wonogiri tempat nenek tinggal.
Pagi-pagi sekali Mandira dan Papa sudah berangkat menuju stasiun kereta. Papa
sengaja mencari kereta paling pagi agar mereka tidak sampai di Desa terlalu
malam. Mandira berjingkat riang, ini pertama kalinya dia ke rumah nenek naik
kereta, biasanya menggunakan bis itupun pada malam hari. Jadi kesempatan ini
tidak ia lewatkan sia-sia, ia tak mau tidur selama perjalanan yang cukup lama
ini. Dia terus mengoceh dan bertanya pada Papa tentang semua hal baru yang
dilihatnya. Papa menjawab pertanyaan Mandira sekedarnya, Papa adalah sosok
tegas dan jarang bicara namun Mandira
selalu tahu bahwa orangtuanya sangat sayang padanya. Sudah hampir setengah
perjalanan, Papa mulai mengantuk, Tapi bagi Mandira, kereta itu adalah wahana
bermain yang sama sekali tak membosankan..
Setiba
di Desa, Mandira disambut riang oleh nenek dan para tetangga. Mandira adalah
cucu pertama nenek, karena Papa adalah anak tertua di keluarga. Setelah 2 hari
berada di sana, Mandira dijelaskan bahwa ia tidak hanya berlibur di sana, pun
juga harus bersekolah. Semula ia senang, karena ia akan punya lebih banyak
waktu bersama nenek dan teman-teman barunya di sana, tapi ia tak menyadari
bahwa di samping semua hal baru yang didapatnya akan ada hal yang hilang dari
pandangannya. Karena keadaan, Mandira harus tinggal bersama nenek di Desa.
Pagi –
pagi sekali Nenek sudah menyiapkan segala keperluan untuk Mandira mendaftar
sekolah. Pagi ini Papa mengantar Mandira untuk mendaftar ke Sekolah Dasar di
desa itu. Mandira berjingkat riang, meninggalkan Papa yang tersenyum kosong
melihatnya berlompatan. Setelah menemui kepala sekolah di ruangannya, Papa
berbicara pada Mandira yang menunggu di luar. Mandira segera memasuki kelas
barunya, seraya mengingat bahwa Papa baru saja pamit untuk kembali ke Ibukota,
dan hari-hari Mandira tanpa orangtuapun di mulai..
Hari-hari
Mandira berubah drastis. Seiring dengan tidak adanya orangtua di sampingnya, ia
juga harus berkutat dengan seabreg kegiatan yang disusunkan Papa sebelum pergi.
Ketika pagi ia akan bersekolah di sector pendidikan formal, yakni Sekolah Dasar
Negeri, sorenya selepas shalat Ashar dia akan bersekolah lagi di Madrasah
ibtidaiyyah – kebanyakan orangtua hanya memilihkan salah satu dari kedua jenis
sekolah tersebut untuk anaknya, tetapi Papa menginginkan pendidikan terbaik
untuk Mandira, baik dari segi akademis maupun pengetahuan keagamaan – dan
selepas shalat maghrib Mandira harus pergi mengaji. Mulanya sulit bagi Mandira
menjalani itu semua, tetapi kawan-kawan baru membantunya menjalani hari dengan
riang. Nenek menjadi semacam “pengawas” bagi setiap kegiatan. Beberapa tahun tinggal di rumah
nenek, Mandira menjadi sangat Mandiri dan keras hati. Untuk setiap
kebutuhannya, ia penuhi sendiri, sangat jarang mengeluh. Ia menyiapkan seragam
untuk dipakainya, buku, mengerjakan PR sendiri, mandi dan bersiap melakukan
semua kegiatan sendiri. Nenek hanya perlu menyiapkan sarapan tiap paginya. Tak
terasa hidup begitu mendisiplinkannya, hingga ia tak sadar tetap ada yang
kurang, ia merasa cukup dengan kehadiran Nenek. Sosok Papa dan Mama memang
pernah diingatnya dan membuatnya merasa ingin meratap, tetapi sangat jarang,
waktunya sudah terkuras habis dengan semua kegiatan yang dijalaninya.
Menjelang
kelulusan dari Sekolah Dasar. Nenek sakit, dan meninggal dunia kemudian. Mandira
sangat terpukul. Papa dan Mama datang menjemputnya untuk tinggal di Ibukota
lagi, karena di Desa sudah tidak ada yang bisa mengurusnya. Sosok Mandira
sedikit-banyak berubah, ia tak seceria ketika kecil dulu. Ia lebih pendiam dan
tak pernah menunjukkan emosi yang berlebihan, ia tak begitu dekat dengan
orangtuanya. Tapi orangtuanya cukup tenang, karena Mandira tumbuh begitu
Mandiri diiringi dasar pengetahuan yang cukup luas, Papa percaya bahwa ia tak
akan pernah mengecewakan.
Tahun-tahun
berlalu. Mandira tumbuh dewasa dengan anggun dan membanggakan. Ia sering
menjuarai berbagai kegiatan di sekolah-sekolahnya. Ia berkuliah di universitas
negeri dan mengambil jurusan Sastra Belanda, sejak kecil ia bercita-cita untuk
bisa pergi ke Belanda dan menimba ilmu di sana. Ia aktif di berbagai kegiatan
kampus, dan sering diminta dosen untuk membantu bila mereka butuh bantuan
mahasiswa. Sebagai ganti dari semua waktunya yang tersita untuk kegiatan
perkuliahan dan keorganisasian, ia jarang berada di rumah. Paling saat malam
tiba, itupun dia langsung masuk ke kamarnya, untuk mengerjakan tugas atau
memang karena sudah kelelahan. Beruntung kedua orangtuanya mengerti dan tidak
pernah mempersoalkan. Tetapi tanpa ia sadari, hatinya tetap kering. Ia tetap
tidak bisa menunjukkan perasaan terdalamnya kepada siapapun, termasuk pada
orangtuanya. Ia berkutat pada dunianya sendiri, dunia yang menyanjungnya tinggi
namun juga dapat menghempasnya tanpa ampun..
Mandira
mendapatkan beasiswa untuk pergi ke Belanda seperti yang dicita-citakannya.
Bersegera pulang, ia datang dengan sangat ceria, tak seperti biasanya. Setelah
mampu menguasai dirinya, ia menemui orangtuanya untuk memberitahukan
keberhasilannya sekaligus meminta izin. Mama bahagia mendengarnya, namun tak
disangkanya ekspresi Papa. Papa sangat marah karena Mandira akan pergi sangat
jauh dan bukan dalam waktu yang sebentar. Mandira mencoba menjelaskan tapi Papa
tak mau dengar dan malah semakin murka. Ia putuskan untuk berbicara pada Papa
lain waktu.
Seminggu
Papa tak mau bicara padanya, dan malam ini terakhir sebelum keberangkatan.
Mandira belum juga mendapatkan restu dari Papa. Ia mencoba menemui Papa
kembali, berharap bisa diizinkan dan bisa pergi dengan tenang. Tapi papa tak
berubah, ia tetap kukuh melarang. Mereka bertengkar hebat, dan tak ada solusi
dari masalah ini karena tak ada satupun yang mau mengalah. Esok paginya Mandira
pergi dengan perasaan masih kesal, serta restu yang hanya didapatnya dari Mama.
Papa tak mau mengantarnya ke Bandara, bahkan tak mau keluar dari kamarnya sama
sekali.
Belanda
sangat indah. Tapi hidup Mandira tak seindah wajah kota Rotterdam ini. Mandira
tahu hidupnya tak akan mudah dan bertabur bunga, namun ia berusaha bertahan,
toh ia sudah sangat terbiasa hidup sendiri seperti saat kecil dulu. Di tengah
perjalanan hidupnya di sana, ia bertemu dengan Banyu Arian Dirgantara,
mahasiswa ilmu komunikasi yang juga berasal dari Indonesia. Mereka dipertemukan
di festival tulip yang mekar. Beberapa bulan setelah pertemuan, mereka
memutuskan untuk menjalin hubungan.
Tiga
tahun Mandira berada di negeri asing, studinya sudah hampir selesai. Ia tak
punya siapapun kecuali Banyu yang berada di sisinya, menemani perjuangannya. Mereka
memutuskan untuk menikah begitu kembali ke tanah air. Mandira sangat bahagia,
tetapi ada satu hal yang mengganjal, restu Papa. Malam yang sunyi dan tenang. Mandira menunggu
kedatangan Banyu dengan gelisah. Hari ini Banyu ingin menemui orangtuanya untuk
meminta restu atas rencana pernikahan mereka. Kedatangan Banyu diterima oleh
Mama, yang tersenyum ramah seperti biasa. Tak berapa lama Papa datang
menemuinya, dan Orangtua Mandira dan Banyu duduk dalam satu ruangan. Setelah
mengutarakan maksud kedatangannya, seisi ruanganpun hening. Mama sangat bahagia
mendengar berita itu, tapi Papa hanya diam terpaku. Semua cemas menunggu
jawaban Papa, karena pernikahan tak bisa dilangsungkan jika wali dari perempuan
tak mengizinkan. Untuk beberapa lama, waktu terasa begitu lambat, nafas
terhembus begitu berat. Papa mengerling ke arah Mandira, lalu menatap nanar
pada Mama yang mengangguk pelan, selanjutnya menjatuhkan pandangan pada Banyu
yang terduduk tegang. Dengan suara berat Papa mulai angkat bicara, dan beliau
menolak. Semua kaget, Mandira menhambur pilu ke kamarnya, Banyu berpamitan
dengan getir, Mama tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memberi pengertian
pada suaminya..
hari
setelahnya, Mandira sudah bersikap seperti biasa. Ia sudah menerima bahwa ia
belum bisa berbahagia bersama Banyu. Tapi mereka tak putus harapan, suatu hari
Banyu akan mencoba melamarnya lagi.
Hari
itu Mandira pulang cepat dari kantornya, ia sakit dan tak bisa melanjutkan
bekerja. Sampai di rumah, Papa kaget melihatnya pulang dengan wajah pucat, tapi
Mandira berkata bahwa ia baik saja dan langsung pergi ke kamar. Tak berapa lama
dia di kamar, Papa datang membawa secangkir teh hangat, dan duduk di samping
ranjang tempat Mandira berbaring. Untuk beberapa lama ia hanya duduk di sana
sambil melihat Mandira dengan sedih. Mandira tersenyum. Tiba-tiba Papa mulai
menangis, dan tiba-tiba meminta maaf. mandira tak mengerti, namun tak juga
berani menyela Papa yang terlihat sangat dalam terluka. Papa meminta maaf atas
semua yang terjadi, soal lamaran yang ditolak dan kejadian saat ia pamit untuk
ke Belanda dulu. Papa meminta maaf karena belum bisa mengizinkan putrid
satu-satunya untuk pergi lagi, setelah bertahun tak ditatapnya. Ia berpikir
bahwa Banyu bisa membawa Mandira pergi lagi, jauh meninggalkan Papa dan Mama
ketika menikah nanti dan ia tak mau itu. Hati Mandira berdesir, bagaimana ia
bisa sangat egois dengan tak memikirkan perasaan orangtuanya selama ini. Masa
kecilnya yang terluka karena ditinggalkan, membentuknya menjadi tak peka pada
orangtuanya sendiri. Selama ini ia hanya memikirkan ambisinya untuk meraih
cita-cita tanpa memikirkan hati orangtuanya. Ia memikirkan kebahagiaannya
bersama Banyu, tanpa memperhitungkan bagaimana kehidupan orangtuanya yang mulai
menua. Kini ganti Mandira yang tersedu meminta maaf pada Papa, atas
kekurang-baktiannya sebagai anak yang hanya memikirkan diri sendiri. Hanya
memikirkan lukanya, tanpa mau mengerti. Papa tersenyum, mengelus kepala Mandira
sambil berkata bahwa putri kecilnya telah kembali..
Lensa
kamera memantulkan cahaya silau matahari. Menangkap gambar orang-orang yang
lalu lalang ke sana kemari di tengah taman yang dihiasi bunga putih.
Orang-orang berpakaian senada dengan bunga yang tertabur di bawahnya, berjejer
menanti waktu bersalaman pada dua sosok yang begitu berbeda. Mereka sangat
cantik dan tampan, seperti raja dan ratu di tempat itu. Senyum tak pernah
berhenti tersungging dari keduanya. Hari ini tak ada tangis, hanya ada tawa.
Hari ini tak ada luka, hanya ada bahagia. Papa memandang teduh pada dua sosok
itu, ia tak bisa berhenti menangis sambil menyunggingkan senyum. Ya, hari ini pernikahan
Mandira dan Banyu. Rona bahagia dari keduanya seakan menghapus segala
kekhawatirannya. Mama dengan setia berada di sampingnya, menggenggam tangan
Papa erat member kekuatan untuk menjalani hidup berdua sekali lagi. Ya, paling
tidak Papa sudah tenang karena saat ia pergi nanti, putrinya sudah memiliki
penjaga di sampingnya berdiri..
-FIN-
0 komentar:
Posting Komentar