Jumat, Oktober 25, 2013
0


SINOPSIS
PAPA
By Line : Butuh lebih dari mengerti untuk bisa memahami


                Cuaca cerah di hari minggu ini. Fajarnya membangunkan insan yang habis terlelap kelelahan. Dayu Mandira, gadis kecil berusia 6 tahun ini terbangun dengan senyum di wajahnya. Hari itu ia sangat senang, karena Papa berjanji untuk membawanya ke rumah nenek. Sudah lama ia tak berkunjung ke sana, dan ia sudah tidak sabar. Mandira adalah anak satu-satunya dari sebuah keluarga kecil sederhana. Ia sudah biasa ditinggal sendiri di siang hari ketika ayah-ibunya bekerja, tapi ia tak pernah mengeluh karena sebagai gadis kecil hidup sudah menempanya untuk mendewasa untuk mengerti bahwa keadaan memang harus demikian.

                Hari itu, seperti janjinya, Papa membawa Mandira ke Desa Wonogiri tempat nenek tinggal. Pagi-pagi sekali Mandira dan Papa sudah berangkat menuju stasiun kereta. Papa sengaja mencari kereta paling pagi agar mereka tidak sampai di Desa terlalu malam. Mandira berjingkat riang, ini pertama kalinya dia ke rumah nenek naik kereta, biasanya menggunakan bis itupun pada malam hari. Jadi kesempatan ini tidak ia lewatkan sia-sia, ia tak mau tidur selama perjalanan yang cukup lama ini. Dia terus mengoceh dan bertanya pada Papa tentang semua hal baru yang dilihatnya. Papa menjawab pertanyaan Mandira sekedarnya, Papa adalah sosok tegas dan jarang bicara  namun Mandira selalu tahu bahwa orangtuanya sangat sayang padanya. Sudah hampir setengah perjalanan, Papa mulai mengantuk, Tapi bagi Mandira, kereta itu adalah wahana bermain yang sama sekali tak membosankan..
                Setiba di Desa, Mandira disambut riang oleh nenek dan para tetangga. Mandira adalah cucu pertama nenek, karena Papa adalah anak tertua di keluarga. Setelah 2 hari berada di sana, Mandira dijelaskan bahwa ia tidak hanya berlibur di sana, pun juga harus bersekolah. Semula ia senang, karena ia akan punya lebih banyak waktu bersama nenek dan teman-teman barunya di sana, tapi ia tak menyadari bahwa di samping semua hal baru yang didapatnya akan ada hal yang hilang dari pandangannya. Karena keadaan, Mandira harus tinggal bersama nenek di Desa.

                Pagi – pagi sekali Nenek sudah menyiapkan segala keperluan untuk Mandira mendaftar sekolah. Pagi ini Papa mengantar Mandira untuk mendaftar ke Sekolah Dasar di desa itu. Mandira berjingkat riang, meninggalkan Papa yang tersenyum kosong melihatnya berlompatan. Setelah menemui kepala sekolah di ruangannya, Papa berbicara pada Mandira yang menunggu di luar. Mandira segera memasuki kelas barunya, seraya mengingat bahwa Papa baru saja pamit untuk kembali ke Ibukota, dan hari-hari Mandira tanpa orangtuapun di mulai..

                Hari-hari Mandira berubah drastis. Seiring dengan tidak adanya orangtua di sampingnya, ia juga harus berkutat dengan seabreg kegiatan yang disusunkan Papa sebelum pergi. Ketika pagi ia akan bersekolah di sector pendidikan formal, yakni Sekolah Dasar Negeri, sorenya selepas shalat Ashar dia akan bersekolah lagi di Madrasah ibtidaiyyah – kebanyakan orangtua hanya memilihkan salah satu dari kedua jenis sekolah tersebut untuk anaknya, tetapi Papa menginginkan pendidikan terbaik untuk Mandira, baik dari segi akademis maupun pengetahuan keagamaan – dan selepas shalat maghrib Mandira harus pergi mengaji. Mulanya sulit bagi Mandira menjalani itu semua, tetapi kawan-kawan baru membantunya menjalani hari dengan riang. Nenek menjadi semacam “pengawas” bagi setiap kegiatan. Beberapa tahun tinggal di rumah nenek, Mandira menjadi sangat Mandiri dan keras hati. Untuk setiap kebutuhannya, ia penuhi sendiri, sangat jarang mengeluh. Ia menyiapkan seragam untuk dipakainya, buku, mengerjakan PR sendiri, mandi dan bersiap melakukan semua kegiatan sendiri. Nenek hanya perlu menyiapkan sarapan tiap paginya. Tak terasa hidup begitu mendisiplinkannya, hingga ia tak sadar tetap ada yang kurang, ia merasa cukup dengan kehadiran Nenek. Sosok Papa dan Mama memang pernah diingatnya dan membuatnya merasa ingin meratap, tetapi sangat jarang, waktunya sudah terkuras habis dengan semua kegiatan yang dijalaninya. 

                Menjelang kelulusan dari Sekolah Dasar. Nenek sakit, dan meninggal dunia kemudian. Mandira sangat terpukul. Papa dan Mama datang menjemputnya untuk tinggal di Ibukota lagi, karena di Desa sudah tidak ada yang bisa mengurusnya. Sosok Mandira sedikit-banyak berubah, ia tak seceria ketika kecil dulu. Ia lebih pendiam dan tak pernah menunjukkan emosi yang berlebihan, ia tak begitu dekat dengan orangtuanya. Tapi orangtuanya cukup tenang, karena Mandira tumbuh begitu Mandiri diiringi dasar pengetahuan yang cukup luas, Papa percaya bahwa ia tak akan pernah mengecewakan.

                Tahun-tahun berlalu. Mandira tumbuh dewasa dengan anggun dan membanggakan. Ia sering menjuarai berbagai kegiatan di sekolah-sekolahnya. Ia berkuliah di universitas negeri dan mengambil jurusan Sastra Belanda, sejak kecil ia bercita-cita untuk bisa pergi ke Belanda dan menimba ilmu di sana. Ia aktif di berbagai kegiatan kampus, dan sering diminta dosen untuk membantu bila mereka butuh bantuan mahasiswa. Sebagai ganti dari semua waktunya yang tersita untuk kegiatan perkuliahan dan keorganisasian, ia jarang berada di rumah. Paling saat malam tiba, itupun dia langsung masuk ke kamarnya, untuk mengerjakan tugas atau memang karena sudah kelelahan. Beruntung kedua orangtuanya mengerti dan tidak pernah mempersoalkan. Tetapi tanpa ia sadari, hatinya tetap kering. Ia tetap tidak bisa menunjukkan perasaan terdalamnya kepada siapapun, termasuk pada orangtuanya. Ia berkutat pada dunianya sendiri, dunia yang menyanjungnya tinggi namun juga dapat menghempasnya tanpa ampun..

                Mandira mendapatkan beasiswa untuk pergi ke Belanda seperti yang dicita-citakannya. Bersegera pulang, ia datang dengan sangat ceria, tak seperti biasanya. Setelah mampu menguasai dirinya, ia menemui orangtuanya untuk memberitahukan keberhasilannya sekaligus meminta izin. Mama bahagia mendengarnya, namun tak disangkanya ekspresi Papa. Papa sangat marah karena Mandira akan pergi sangat jauh dan bukan dalam waktu yang sebentar. Mandira mencoba menjelaskan tapi Papa tak mau dengar dan malah semakin murka. Ia putuskan untuk berbicara pada Papa lain waktu.

                Seminggu Papa tak mau bicara padanya, dan malam ini terakhir sebelum keberangkatan. Mandira belum juga mendapatkan restu dari Papa. Ia mencoba menemui Papa kembali, berharap bisa diizinkan dan bisa pergi dengan tenang. Tapi papa tak berubah, ia tetap kukuh melarang. Mereka bertengkar hebat, dan tak ada solusi dari masalah ini karena tak ada satupun yang mau mengalah. Esok paginya Mandira pergi dengan perasaan masih kesal, serta restu yang hanya didapatnya dari Mama. Papa tak mau mengantarnya ke Bandara, bahkan tak mau keluar dari kamarnya sama sekali.

                Belanda sangat indah. Tapi hidup Mandira tak seindah wajah kota Rotterdam ini. Mandira tahu hidupnya tak akan mudah dan bertabur bunga, namun ia berusaha bertahan, toh ia sudah sangat terbiasa hidup sendiri seperti saat kecil dulu. Di tengah perjalanan hidupnya di sana, ia bertemu dengan Banyu Arian Dirgantara, mahasiswa ilmu komunikasi yang juga berasal dari Indonesia. Mereka dipertemukan di festival tulip yang mekar. Beberapa bulan setelah pertemuan, mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.

                Tiga tahun Mandira berada di negeri asing, studinya sudah hampir selesai. Ia tak punya siapapun kecuali Banyu yang berada di sisinya, menemani perjuangannya. Mereka memutuskan untuk menikah begitu kembali ke tanah air. Mandira sangat bahagia, tetapi ada satu hal yang mengganjal, restu Papa.              Malam yang sunyi dan tenang. Mandira menunggu kedatangan Banyu dengan gelisah. Hari ini Banyu ingin menemui orangtuanya untuk meminta restu atas rencana pernikahan mereka. Kedatangan Banyu diterima oleh Mama, yang tersenyum ramah seperti biasa. Tak berapa lama Papa datang menemuinya, dan Orangtua Mandira dan Banyu duduk dalam satu ruangan. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, seisi ruanganpun hening. Mama sangat bahagia mendengar berita itu, tapi Papa hanya diam terpaku. Semua cemas menunggu jawaban Papa, karena pernikahan tak bisa dilangsungkan jika wali dari perempuan tak mengizinkan. Untuk beberapa lama, waktu terasa begitu lambat, nafas terhembus begitu berat. Papa mengerling ke arah Mandira, lalu menatap nanar pada Mama yang mengangguk pelan, selanjutnya menjatuhkan pandangan pada Banyu yang terduduk tegang. Dengan suara berat Papa mulai angkat bicara, dan beliau menolak. Semua kaget, Mandira menhambur pilu ke kamarnya, Banyu berpamitan dengan getir, Mama tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memberi pengertian pada suaminya..
                hari setelahnya, Mandira sudah bersikap seperti biasa. Ia sudah menerima bahwa ia belum bisa berbahagia bersama Banyu. Tapi mereka tak putus harapan, suatu hari Banyu akan mencoba melamarnya lagi.
                Hari itu Mandira pulang cepat dari kantornya, ia sakit dan tak bisa melanjutkan bekerja. Sampai di rumah, Papa kaget melihatnya pulang dengan wajah pucat, tapi Mandira berkata bahwa ia baik saja dan langsung pergi ke kamar. Tak berapa lama dia di kamar, Papa datang membawa secangkir teh hangat, dan duduk di samping ranjang tempat Mandira berbaring. Untuk beberapa lama ia hanya duduk di sana sambil melihat Mandira dengan sedih. Mandira tersenyum. Tiba-tiba Papa mulai menangis, dan tiba-tiba meminta maaf. mandira tak mengerti, namun tak juga berani menyela Papa yang terlihat sangat dalam terluka. Papa meminta maaf atas semua yang terjadi, soal lamaran yang ditolak dan kejadian saat ia pamit untuk ke Belanda dulu. Papa meminta maaf karena belum bisa mengizinkan putrid satu-satunya untuk pergi lagi, setelah bertahun tak ditatapnya. Ia berpikir bahwa Banyu bisa membawa Mandira pergi lagi, jauh meninggalkan Papa dan Mama ketika menikah nanti dan ia tak mau itu. Hati Mandira berdesir, bagaimana ia bisa sangat egois dengan tak memikirkan perasaan orangtuanya selama ini. Masa kecilnya yang terluka karena ditinggalkan, membentuknya menjadi tak peka pada orangtuanya sendiri. Selama ini ia hanya memikirkan ambisinya untuk meraih cita-cita tanpa memikirkan hati orangtuanya. Ia memikirkan kebahagiaannya bersama Banyu, tanpa memperhitungkan bagaimana kehidupan orangtuanya yang mulai menua. Kini ganti Mandira yang tersedu meminta maaf pada Papa, atas kekurang-baktiannya sebagai anak yang hanya memikirkan diri sendiri. Hanya memikirkan lukanya, tanpa mau mengerti. Papa tersenyum, mengelus kepala Mandira sambil berkata bahwa putri kecilnya telah kembali..

                Lensa kamera memantulkan cahaya silau matahari. Menangkap gambar orang-orang yang lalu lalang ke sana kemari di tengah taman yang dihiasi bunga putih. Orang-orang berpakaian senada dengan bunga yang tertabur di bawahnya, berjejer menanti waktu bersalaman pada dua sosok yang begitu berbeda. Mereka sangat cantik dan tampan, seperti raja dan ratu di tempat itu. Senyum tak pernah berhenti tersungging dari keduanya. Hari ini tak ada tangis, hanya ada tawa. Hari ini tak ada luka, hanya ada bahagia. Papa memandang teduh pada dua sosok itu, ia tak bisa berhenti menangis sambil menyunggingkan senyum. Ya, hari ini pernikahan Mandira dan Banyu. Rona bahagia dari keduanya seakan menghapus segala kekhawatirannya. Mama dengan setia berada di sampingnya, menggenggam tangan Papa erat member kekuatan untuk menjalani hidup berdua sekali lagi. Ya, paling tidak Papa sudah tenang karena saat ia pergi nanti, putrinya sudah memiliki penjaga di sampingnya berdiri..

-FIN-

0 komentar:

Posting Komentar