Minggu, September 29, 2013
0
oleh:
Siti Nurhasanah

   Langkah kakinya yang berirama dengan sepatu andalannya, menaiki anak tangga menuju lantai 2. Gaya khasnya yang cuek dengan jaket hitam, celana jeans, tas kecil, gelang hitam di tangan kanannya dan berkupluk. Memasuki ruang kelas dengan santai walau ia tahu ia sudah terlambat, itulah Tedy si sulung dari 3 bersaudara.
   Mahasiswa ilmu kedokteran ini merasa terperangkap dalam jurusan tersebut, kalau saja bukan karena keinginan ayahnya yang ingin melihat anaknya menjadi seorang dokter. Mungkin Tedy sudah memilih kuliah di jurusan Broadcasting. Pria kurus berkulit sawo matang ini lebih menyukai dunia fotografi dan film daripada menjadi dokter demi menyelamatkan orang lain. Setiap mata kuliah yang dia hadiri tak pernah diperhatikan secara sungguh-sungguh.
    “Jiwa gue bukan sebagai dokter tapi seorang broadcaster handal.” Kalimat tersebut yang selalu ada di pikiran Tedy. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa pindah jurusan bahkan sampai memohon izin berulang kali kepada ayahnya namun tetap saja tidak diberikan.
    Hobinya dalam dunia foto yang sering mengabadikan berbagai moment dan objek yang ia temui membuatnya tertarik untuk mengikuti sebuah kompetisi fotografi yang diikuti mahasiswa dari berbagai Universitas. Keikutsertaanya tersebut tentu tanpa sepengetahuan ayahnya. Keasyikkan Tedy dalam dunia fotografinya ini membuat nilainya di berbagai mata kuliah menjadi sangat mengecewakan dan menimbulkan kecurigaan di pikiran ayahnya.    
    Saat pengumuman pemenang kompetisi fotografi diumumkan di website resmi penyelenggara, nama Tedy berada dalam 5 besar kontestan yang akan di adu kembali dengan mahasiswa dari Universitas lain di Singapore. Betapa bahagianya Tedy melihat pengumuman tersebut namun seketika ia bingung bagaimana caranya meminta izin ayahnya untuk bisa pergi ke Singapore. Tiga hari sudah Tedy memikirkan masalah ini tapi masih saja belum ada solusinya.
    Pukul 23.30 Tedy pulang dari acara nongkrong bareng teman – teman kampusnya. Tampak tubuh tegap berkulit putih, berkacamata, berkumis tipis mengenakan kaos oblong dan sarung tengah berada di ruang tamu menanti Tedy.

“Dari mana kamu?” tanya ayah
“Abis maen Yah.”
“Bukan abis foto-foto?” tanya ayah lagi dengan nada ketus
“Engga kok Yah, udah ah aku cape mau tidur.”
“Gimana rasanya menang? Kapan berangkatnya?” ayah mulai kesal
“Menang apaan sih Yah, udah ah.” Tedy meninggalkan ayah yang masih duduk di sofa.
“Jawab dulu pertanyaan Ayah!” menarik tangan Tedy
“Apaan sih Yah, gak jelas banget.” Jawabnya santai
“Trus gimana praktek kamu minggu depan, udah dapet lokasinya? Dimana? Perlu bantuan Ayah gak?”
“Aku gak butuh apa-apa, lagian juga aku gak tau mau praktek dimana.”
“Gimana kalo di Singapore aja sekalian kamu hadiri kompetisi gak penting itu.” Sindir Ayah
“Kenapa sih Ayah gak pernah mau dengerin keinginan aku, Ayah gak pernah mau tau tentang aku.” Tedy gerah dengan sikapnya Ayahnya itu.
“Ayah udah turutin semua kemauan kamu, fasilitas yang Ayah kasih gak pernah kurang kan? Ayah selalu ngertiin kamu.”
“Ngertiin apa sih Yah, kalau semua yang aku lakuin saat ini adalah keinginan Ayah semata. Aku gak pernah mau jadi dokter dan aku gak ada sedikitpun niat jadi dokter. Jiwa aku di fotografi Yah, itu duniaku tapi Ayah merampasnya dan memaksaku untuk jadi orang lain, aku bagai raga tanpa nyawa. Coba aja Ayah sedikit dengerin keinginan aku, sadari bakat yang aku miliki Yah. Aku cuma butuh izin dan support dari Ayah untuk bakatku ini, aku yakin aku bisa bikin Ayah bangga. Aku mohon Yah.” Ungkap Tedy

   Seketika ayahnya terdiam dan meninggalkan Tedy sendirian. Tedy kesal, bingung juga sedih. Keesokan harinya Tedy pun menceritakan kejadian malam itu kepada ibunya. Ia ingin mendapat izin dan dukungan dari orang terdekatnya untuk bisa melanjutkan kompetisi fotografi tersebut. Sang Ibu dengan senyum simpulnya memeluk Tedy sambil berkata “Aku meridhoimu nak, pergilah kejar impianmu. Biar Ayahmu Ibu yang urus disini.”
    Berbekal restu dari sang Ibu, Tedy akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Singapore. Namun saat sudah berada di bandara, Tedy mendapati telepon dari adiknya bahwa ayah mereka masuk ke rumah sakit. Tedy pun bingung harus bagaimana, 20 menit lagi pesawatnya take-off sedangkan ayahnya tengah dilarikan ke rumah sakit. Pilihan yang berat untuk memilih impiannya atau orang yang sudah menghalangi mimpinya.
    Satu menit sebelum take-off Tedy berlari meninggalkan pesawat dan menuju rumah sakit. Sesampainya disana dokter mengatakan kanker yang diderita ayahnya telah memasuki stadium akhir dan kondisinya sangat mengkhawatirkan. Disanalah Tedy tersadar mengapa ayahnya sangat menginginkan dirinya menjadi seorang dokter karena berbagai dokter spesialis kanker yang sudah memeriksanya tak menemukan harapan atas kesembuhannya.
    Tedy kesal dan marah kenapa selama ini dia berprasangka buruk kepada ayahnya yang tak pernah mengizinkannya menikmati kesukaannya. Dia juga sedih kenapa ayahnya tak pernah menceritakan perihal penyakit yang dideritanya hingga separah ini.
Ibunya pun menghampiri dan bercerita.
    “Jangan salahkan ayahmu yang tak pernah mengizinkanmu pindah jurusan nak, ayah selalu yakin dan berkata kepada dokter yang mengurusnya, kelak yang akan menyelamatkanku dari penyakit ini adalah anak kebanggaanku, pahlawan kecilku. Dan dia memilihmu sebagai pahlawan kecilnya.” cerita ibu.
    “Tahu tidak, saat ia tahu kau menang kompetisi itu, dia gembira sekali sampai lompat lompat segala, dia tahu kalau kau mampu mewujudkan mimpimu nak, tapi dia tak akan mampu melihatmu sukses jika ia tak sembuh. Dan itu alasan kenapa ayahmu ingin kau jadi dokter agar kelak yang menyelamatkannya adalah anak kebanggaannya sendiri, yaitu kamu.” lanjutnya.
    Dalam benak Tedy saat ini adalah menjadi seorang dokter hebat demi menyelamatkan ayahnya.
“Maafkan aku ayah, aku janji aku akan sembuhkan ayah bagaimanapun caranya. Masalah kompetisi itu aku bisa ikut lagi lain waktu.” Sambil memeluk ayahnya yang terbaring lemah.

0 komentar:

Posting Komentar