Secuil Tentangku
Duapuluh dua tahun silam, Orang tuaku mencantumkan nama dalam selembar akta kelahiran tertanggal 14 Juni 1991 itu Aditya Feri Wardani. Nama itulah yang menjadi warisan berharga agar orang-orang disekitarku lebih gampang dalam menyebutku. Oh ya, panggil saja aku feri soalnya dari kecil sih dipanggil gitu, hehe. Aku dibesarkan disebuah desa dimana pintu gerbang Candi Hindu tertinggi menghadap kesana. Yup betul, Prambanan, dari etimologis katanya berasal dari kata pambrahmanan (tempat para brahma). Itu katanya loh, tanah kelahiranku memang banyak mitos. Desaku namanya Tlogo, dulu kata embah-embah memang ada telaga, tempat mandinya para putri kerajaan Baka, lalu sumber mata air telaga itu ditutup dengan Gong oleh orang sakti untuk dijadikan pemukiman. Hahaha namanya juga mitos, semacam dongeng yang dipaido keneng (disanggah silakan).
Seperti dalam masyarakat pedesaan jawa pada decade 90-an, masa kecilku sangat kenyang akan permainan-permainan tradisional, yang ekonomis, sosialis dan yang penting nih menyehatkan. Gobak sodor, engklek, jamuran, bethik. Gamparan adalah contohnya masih banyak yang tak tersebut karena faktor usia penulis mungkin juga karena permainan tersebut sekarang sudah sangat jarang ditemui, selain di kampong wisata permainan tradisional di lereng Merapi. Yang paling berkesan dan paling rame adalah saat bulan Ramadhan tiba, lepas shubuh Kompleks Taman Candi Prambanan menjadi arena kumpul-kumpul bocah untuk bermain atau sekadar jalan-jalan santai. Aku dan kawan-kawan sekampung tak ketinggalan, tiap habis shubuh bawa bola ke tanah lapang dekat candi. Kebetulan sih kebijakan Presiden Gus Dur yang meliburkan sekolah sebulan full waktu itu disambut positif. (buat main-main maksudnya)
Keluargaku adalah inspirasi terbesar dalam hidupku, yang survive dalam situasi sepelik apapun. Bapak seorang purna tugas karyawan swasta di teater Ramayana. Sudah sekitar tiga tahunan ini Bapak menghabiskan waktu dirumah sambil memelihara beberapa klangenannya, kenari, merpati dan sempat mencoba beternak entog (angsa), namun lahan terlalu sempit. Bagiku bapak adalah salah satu sosok yang kuakui sebagai guru. Beliau punya ketertarikan di berbagai bidang di olahraga beliau jago volley, perawakan yang tinggi besar tentu mendukung itu, di bidang kesenian Bapak seringkali ikut festival reog sebagai warog, perawakan sekali lagi mendukung meski sudah lama pensiun dari dunia itu, tapi kebiasaan Bapak menyetel radio siaran wayang tengah malam tak berubah sampai sekarang. Darah seni Bapak mungkin mengalir dari kakek, yang sejak aku lahir belum pernah tahu wajahnya. Kakek dulu seorang kolektor keris, beberapa memang ada penghuninya kata Bapak. Sejak kakek meninggal Bapak enggan ngrumat (merawat) keris tersebut, hingga semuanya pindah tangan. Aku selalu penasaran kalau bapak cerita tentang kakek. Sayangnya, taste jiwa seni kakek dan bapak nggak menurun ke aku, yang cenderung hanya sebagai penikmat seni saja.
Kalau Ibu lebih kalem, pas bicara juga teduh. Tapi jangan tanya kalau pas ngomel gara-gara aku atau dua kakak perempuanku main pulang malam. Beliau seorang Ibu Rumah Tangga, mesin jahit bisa jadi sambilan beliau kalau waktu senggang. Beliau yang paling bisa membesarkan hati anak-anaknya dalam menghadapi masalah, terutama yang aku yang tengah merantau ini. Aku bersyukur dititipkan Tuhan untuk dibesarkan di keluarga ini.
Dalam mengisi liburan sekolah, dulu aku sering ikut kakek (yang dari Ibu) ke sawah, matun (menyiangi gulma) atau sekadar ngunduh jambu biji samping sawah. Rasanya asyik banget, sambil main di kali yang masih bening mencari ikan, waktu itu sih masih lumayan banyak. Barangkali tak hanya perawakanku dan kakek yang mirip tetapi minatku di bidang cocok tanam juga sama. Kakek mengajariku banyak tentang ilmu mongso. Yang sekarang sudah tergusur kapitalis, tanaman jadi kecanduan pupuk, permainan subsidinya, permainan harga pasca panen, tengkulak serta goyahnya keseimbangan alam. Bukankah petani itu wakil Tuhan yang terlihat nyata? Kalau mengingat petuah kakek, aku jadi sering menertawakan diri. Aku punya minat jadi petani tapi ikut ngapitalis, merantau jadi buruh pabrik dengan pendapatan instan dan stabil. Mental petani hilang timbul mental pedagang. Anak muda makin enggan jadi petani. Sawah makin sempit, petani makin sedikit. Susah memang mau ikut realita yang pragmatis atau idealis yang utopia. Meski sampai sekarang aku punya mimpi kelak di hari tua punya sawah dan lading perkebunan buah Mundu. (Ini buah nostalgia masa kecilku yang asli Indonesia tapi mulai langka). Itu kalau kondisi ideal aku punya modal, hehe.
Pas bapak masih bekerja di teater Ramayana, aku sering ikut diajak ke pembibitan tanaman hias disana. Aku sering memintanya membawa pulang beberapa, di halaman rumah dulu aku pingin bikin hutan mini, haha. Disamping tanam menanam, aku juga punya ketertarikan dalam dunia leteratur. Waktu sekolah pelajaran Bahasa Indonesia itu favorit. Kebetulan dari SD sampai SMP aku diajuin lomba baca puisi tingkat kecamatan, bukannya sombong semuanya gagal. Justru pas ikut lomba melukis kelas 6 SD pernah jadi juara, lagi-lagi bukannya sombong juara harapan III loh.
Kalau bicara bakat, aku memilih abstain deh. Sampai sekarang aku bingung bakatku apa? Itu kalau tolok ukur bakat adalah apresiasi dan prestasi, maka bisa dibilang aku gak punya bakat apa-apa. Prestasi mentok justru jadi juara II lomba Cerdas Cermat Agama tingkat kabupaten Sleman waktu SMK. Masak bakat kok beragama kan gak asyik. Ntar ada kontes pencarian bakat, yang juara masuk surga gitu?
Pendidikanku masa TK dan SD saya habiskan di Klaten, Jawa Tengah. Masuk SMP aku mulai nyebrang propinsi Yogyakarta, meski jarak hanya 3km, berangkat sekolah naik sepeda kayuh itu serasa AKAP. Lulus SMP orang tua merekomendasikan masuk SMK, harapannya sederhana lulus bisa cepet kerja. Aku masuk jurusan Teknik Mesin di SMK Muhammadiyah Prambanan. Tahun 2009 lulus dan tiga bulan setelahnya aku bekerja di perusahaan Traktor tangan nasional sebagai maintenance. Tahun ketiga bekerja disana muncul impian liar untuk kuliah, sejak aktif nimbrung di dunia blog dan ingin mengembangkan minat dalam tulis menulis maka Maret 2012 aku ikut Try Out SNMPTN di Fakultas Peternakan UGM aku ambil jurusan jurnalistik UnPad, prediksinya lolos. Aku di peringkat 233 dari 3ribuan peserta. Ironisnya belakangan aku tahu kalau SNMPTN jalur regular itu syaratnya lulusan tahun tersebut dan dua tahun sebelumnya. Ijasahku kadaluarsa setahun. Pilihanku hanya satu masuk kampus swasta yang makan banyak beaya atau pindah kerjaan yang member peluang untuk lanjut kuliah. Ya, setahun aku tunda hasratku untuk kuliah. Sampai saat bulan Agustus 2012 aku memilih merantau dan bekerja di perusahaan Otomotif di Bekasi. Ketika peluang itu ada maka bulan Maret 2013 resmi aku menjadi siswa UMB Jurusan jurnalistik penyiaran.
Sebagai anak muda yang tertarik dunia jurnalistik, aku memandang televisi sebagai media hiburan murah untuk masyarakat. Apapun acara programnya anggap saja hiburan, entah itu sinetron, masak-masak, atau adu mulut, pokoknya jangan dibawa serius. Harapanku sih kalau masuk dunia televisi sih bisa jadi reporter yang sering jadi saksi sejarah beragam peristiwa penting. Kalau disuruh milih lagi mending jadi jurnalis media cetak daripada televisi, hehe.
Waktu tak bisa kembali, harapan harus tetap didaki. Sebelumnya ambil kuda-kuda dalam diri, mateg aji. Bahwa hasil akhir usaha kita itu memberi manfaat bukan mudharat. Bekerja dulu, pamrih urusan belakang. Rindu pamrih tanpa rindu kerja bukankah itu niat mencuri??
Itu!!!
(tepok tangan dong, pesan moral nih, pesannya doang yang bermoral)
Duapuluh dua tahun silam, Orang tuaku mencantumkan nama dalam selembar akta kelahiran tertanggal 14 Juni 1991 itu Aditya Feri Wardani. Nama itulah yang menjadi warisan berharga agar orang-orang disekitarku lebih gampang dalam menyebutku. Oh ya, panggil saja aku feri soalnya dari kecil sih dipanggil gitu, hehe. Aku dibesarkan disebuah desa dimana pintu gerbang Candi Hindu tertinggi menghadap kesana. Yup betul, Prambanan, dari etimologis katanya berasal dari kata pambrahmanan (tempat para brahma). Itu katanya loh, tanah kelahiranku memang banyak mitos. Desaku namanya Tlogo, dulu kata embah-embah memang ada telaga, tempat mandinya para putri kerajaan Baka, lalu sumber mata air telaga itu ditutup dengan Gong oleh orang sakti untuk dijadikan pemukiman. Hahaha namanya juga mitos, semacam dongeng yang dipaido keneng (disanggah silakan).
Seperti dalam masyarakat pedesaan jawa pada decade 90-an, masa kecilku sangat kenyang akan permainan-permainan tradisional, yang ekonomis, sosialis dan yang penting nih menyehatkan. Gobak sodor, engklek, jamuran, bethik. Gamparan adalah contohnya masih banyak yang tak tersebut karena faktor usia penulis mungkin juga karena permainan tersebut sekarang sudah sangat jarang ditemui, selain di kampong wisata permainan tradisional di lereng Merapi. Yang paling berkesan dan paling rame adalah saat bulan Ramadhan tiba, lepas shubuh Kompleks Taman Candi Prambanan menjadi arena kumpul-kumpul bocah untuk bermain atau sekadar jalan-jalan santai. Aku dan kawan-kawan sekampung tak ketinggalan, tiap habis shubuh bawa bola ke tanah lapang dekat candi. Kebetulan sih kebijakan Presiden Gus Dur yang meliburkan sekolah sebulan full waktu itu disambut positif. (buat main-main maksudnya)
Keluargaku adalah inspirasi terbesar dalam hidupku, yang survive dalam situasi sepelik apapun. Bapak seorang purna tugas karyawan swasta di teater Ramayana. Sudah sekitar tiga tahunan ini Bapak menghabiskan waktu dirumah sambil memelihara beberapa klangenannya, kenari, merpati dan sempat mencoba beternak entog (angsa), namun lahan terlalu sempit. Bagiku bapak adalah salah satu sosok yang kuakui sebagai guru. Beliau punya ketertarikan di berbagai bidang di olahraga beliau jago volley, perawakan yang tinggi besar tentu mendukung itu, di bidang kesenian Bapak seringkali ikut festival reog sebagai warog, perawakan sekali lagi mendukung meski sudah lama pensiun dari dunia itu, tapi kebiasaan Bapak menyetel radio siaran wayang tengah malam tak berubah sampai sekarang. Darah seni Bapak mungkin mengalir dari kakek, yang sejak aku lahir belum pernah tahu wajahnya. Kakek dulu seorang kolektor keris, beberapa memang ada penghuninya kata Bapak. Sejak kakek meninggal Bapak enggan ngrumat (merawat) keris tersebut, hingga semuanya pindah tangan. Aku selalu penasaran kalau bapak cerita tentang kakek. Sayangnya, taste jiwa seni kakek dan bapak nggak menurun ke aku, yang cenderung hanya sebagai penikmat seni saja.
Kalau Ibu lebih kalem, pas bicara juga teduh. Tapi jangan tanya kalau pas ngomel gara-gara aku atau dua kakak perempuanku main pulang malam. Beliau seorang Ibu Rumah Tangga, mesin jahit bisa jadi sambilan beliau kalau waktu senggang. Beliau yang paling bisa membesarkan hati anak-anaknya dalam menghadapi masalah, terutama yang aku yang tengah merantau ini. Aku bersyukur dititipkan Tuhan untuk dibesarkan di keluarga ini.
Dalam mengisi liburan sekolah, dulu aku sering ikut kakek (yang dari Ibu) ke sawah, matun (menyiangi gulma) atau sekadar ngunduh jambu biji samping sawah. Rasanya asyik banget, sambil main di kali yang masih bening mencari ikan, waktu itu sih masih lumayan banyak. Barangkali tak hanya perawakanku dan kakek yang mirip tetapi minatku di bidang cocok tanam juga sama. Kakek mengajariku banyak tentang ilmu mongso. Yang sekarang sudah tergusur kapitalis, tanaman jadi kecanduan pupuk, permainan subsidinya, permainan harga pasca panen, tengkulak serta goyahnya keseimbangan alam. Bukankah petani itu wakil Tuhan yang terlihat nyata? Kalau mengingat petuah kakek, aku jadi sering menertawakan diri. Aku punya minat jadi petani tapi ikut ngapitalis, merantau jadi buruh pabrik dengan pendapatan instan dan stabil. Mental petani hilang timbul mental pedagang. Anak muda makin enggan jadi petani. Sawah makin sempit, petani makin sedikit. Susah memang mau ikut realita yang pragmatis atau idealis yang utopia. Meski sampai sekarang aku punya mimpi kelak di hari tua punya sawah dan lading perkebunan buah Mundu. (Ini buah nostalgia masa kecilku yang asli Indonesia tapi mulai langka). Itu kalau kondisi ideal aku punya modal, hehe.
Pas bapak masih bekerja di teater Ramayana, aku sering ikut diajak ke pembibitan tanaman hias disana. Aku sering memintanya membawa pulang beberapa, di halaman rumah dulu aku pingin bikin hutan mini, haha. Disamping tanam menanam, aku juga punya ketertarikan dalam dunia leteratur. Waktu sekolah pelajaran Bahasa Indonesia itu favorit. Kebetulan dari SD sampai SMP aku diajuin lomba baca puisi tingkat kecamatan, bukannya sombong semuanya gagal. Justru pas ikut lomba melukis kelas 6 SD pernah jadi juara, lagi-lagi bukannya sombong juara harapan III loh.
Kalau bicara bakat, aku memilih abstain deh. Sampai sekarang aku bingung bakatku apa? Itu kalau tolok ukur bakat adalah apresiasi dan prestasi, maka bisa dibilang aku gak punya bakat apa-apa. Prestasi mentok justru jadi juara II lomba Cerdas Cermat Agama tingkat kabupaten Sleman waktu SMK. Masak bakat kok beragama kan gak asyik. Ntar ada kontes pencarian bakat, yang juara masuk surga gitu?
Pendidikanku masa TK dan SD saya habiskan di Klaten, Jawa Tengah. Masuk SMP aku mulai nyebrang propinsi Yogyakarta, meski jarak hanya 3km, berangkat sekolah naik sepeda kayuh itu serasa AKAP. Lulus SMP orang tua merekomendasikan masuk SMK, harapannya sederhana lulus bisa cepet kerja. Aku masuk jurusan Teknik Mesin di SMK Muhammadiyah Prambanan. Tahun 2009 lulus dan tiga bulan setelahnya aku bekerja di perusahaan Traktor tangan nasional sebagai maintenance. Tahun ketiga bekerja disana muncul impian liar untuk kuliah, sejak aktif nimbrung di dunia blog dan ingin mengembangkan minat dalam tulis menulis maka Maret 2012 aku ikut Try Out SNMPTN di Fakultas Peternakan UGM aku ambil jurusan jurnalistik UnPad, prediksinya lolos. Aku di peringkat 233 dari 3ribuan peserta. Ironisnya belakangan aku tahu kalau SNMPTN jalur regular itu syaratnya lulusan tahun tersebut dan dua tahun sebelumnya. Ijasahku kadaluarsa setahun. Pilihanku hanya satu masuk kampus swasta yang makan banyak beaya atau pindah kerjaan yang member peluang untuk lanjut kuliah. Ya, setahun aku tunda hasratku untuk kuliah. Sampai saat bulan Agustus 2012 aku memilih merantau dan bekerja di perusahaan Otomotif di Bekasi. Ketika peluang itu ada maka bulan Maret 2013 resmi aku menjadi siswa UMB Jurusan jurnalistik penyiaran.
Sebagai anak muda yang tertarik dunia jurnalistik, aku memandang televisi sebagai media hiburan murah untuk masyarakat. Apapun acara programnya anggap saja hiburan, entah itu sinetron, masak-masak, atau adu mulut, pokoknya jangan dibawa serius. Harapanku sih kalau masuk dunia televisi sih bisa jadi reporter yang sering jadi saksi sejarah beragam peristiwa penting. Kalau disuruh milih lagi mending jadi jurnalis media cetak daripada televisi, hehe.
Waktu tak bisa kembali, harapan harus tetap didaki. Sebelumnya ambil kuda-kuda dalam diri, mateg aji. Bahwa hasil akhir usaha kita itu memberi manfaat bukan mudharat. Bekerja dulu, pamrih urusan belakang. Rindu pamrih tanpa rindu kerja bukankah itu niat mencuri??
Itu!!!
(tepok tangan dong, pesan moral nih, pesannya doang yang bermoral)
0 komentar:
Posting Komentar