Minggu, September 29, 2013
0


Ketika aku harus……

            “Copeeeet… copeeeeeett…!!!” Tampak sekerumunan orang berlari mengejar seorang laki-laki bertubuh kurus yang pontang panting mengarah ke sembarang tempat untuk lepas dari amukan warga. Sedangkan di sudut sana seorang ibu mengatur nafas untuk mengembalikan kondisi normalnya, beberapa ibu berkerumun disekitarnya dan memberikan segelas air putih. Sesekali dia menyeruput air putihnya dan kembali menangis. Uang satu juta yang baru ia dapatkan dari menjual emasnya di pasar, rencananya akan ia gunakan untuk membayar sekolah anaknya yang sudah menunggak 3 bulan. Tapi apa daya, uang itu telah raib bersama harapannya untuk membuat anaknya tetap bisa belajar bersama teman-temannya.  

 “Man, tolong ibu ambilkan piring nak.” Ujar ibuku. “Tuh si Ani aja yang dimintain tolong, Firman mau berangkat bu, udah siang nih” jawabku. Aku memang terbiasa membantu ibu diwaktu pagi. Maklum aku anak kedua dari 3 bersaudara. Dan hanya aku yang laki-laki. Kakakku sudah menikah dan sekarang ia tinggal di kota bersama suaminya. Sesekali ia hanya menelepon untuk menanyakan kabar kami sekeluarga. Sedangkan untuk menengok kami, hanya ia lakukan pada saat lebaran Idul Fitri saja. Adikku seorang gadis yang pendiam sama sepertiku. Sebentar lagi ia akan masuk SMP. Sedangkan ayah, 2 tahun yang lalu kecelakaan kerja membuat aku dan keluargaku kehilangannya. Aku tidak tampan, kulitku sawo matang, tinggiku hanya sekitar 170 cm, rambut? Ya aku paling malas mencucinya, paling-paling hanya kuusap dengan gel rambut yang membuatnya setengah berdiri, aku kurus memang, bukan karena aku tidak pernah makan, tapi sepertinya gen ayahku melekat padaku. Pagi itu tak seperti biasanya, selesai membantu ibu, aku langsung berangkat tanpa menyentuh sarapan pagi yang sudah disediakan oleh ibuku. Terlambat, karena semalaman suntuk aku menonton tayangan sepak bola yang membuatku jadi bangun kesiangan. “Nggak sarapan dulu man?” Tanya ibuku. “Nggak ah udah kesiangan bu, tadi juga ibu nyuruh aku jemur baju dulu, jadi tambah kesiangan” sahutku. Setelah berpamitan aku langsung pergi. Aku memang pendiam, pemalu juga tidak terlalu terbuka pada siapa saja. Tapi aku selalu punya tekad suatu hari nanti aku pasti sukses, untuk ibu dan adikku. Semenjak ayah tiada, ibu yang mencari uang untuk biaya pendidikan dan makan sehari-hari. Aku kadang membantunya sepulang aku bersekolah. Ibuku seorang yang kreatif, ia selalu membuat cemilan dan makanan ringan untuk dijajakan di depan rumah. Selain itu ia juga berjualan makanan seperti gado-gado dan ketoprak. 

Ada yang berbeda dari biasanya, ibu tampak pucat dan lesu. “Bu, ibu nggak apa-apa kan?” tanyaku. “Nggak man, ibu cuma masuk angin.” Jawabnya tanpa menoleh ke arahku. “Tapi, ibu pucat sekali. Ibu sakit kan?” tanyaku lagi. “Ayo ke dokter bu.” Lanjutku. Tapi, ia hanya diam tak bergeming. Ia hanya berkata “Ibu istirahat sebentar ya man?”. Lalu pergi menuju kamar. Dua hari sudah ibu hanya berbaring dengan mengkonsumsi obat-obatan seadanya. Kondisinya makin memburuk, karena sering pusing dan mimisan. “Bu, kita harus ke dokter bu.” Paksaku. “Nggak man, ibu Nggak apa-apa kok.” Kilahnya. “Nggak apa-apa gimana sih? Orang ibu mimisan terus, pokoknya ibu harus ke dokter.” Kataku dengan nada agak marah. “Ibu nggak punya uang nak, mau bayar pake apa kita nanti?” jawabnya. “Itu soal gampang bu, pokonya kita harus ke dokter dulu” jawabku. Dengan meminjam motor tetangga, aku membonceng ibu ke klinik terdekat. Aku cemas, ada apa dengan ibu? Penyakit seperti apa yang sedang ia derita? Aku tidak mau Tuhan, kalau sampai ibuku juga menyusul ayah. “Firman, bisa kita bicara?.” Tiba-tiba dokter membuyarkan lamunanku. “Ibumu harus dioperasi kecil untuk mengangkat tumor yang ada di otaknya” Lanjut dokter. “Dan untuk itu, kami harus merujuknya ke Rumah Sakit yang dapat segera menanganinya. Ini surat rujukannya, saya harap bisa secepatnya.”

Aku bingung darimana aku mendapatkan uang untuk operasi itu? Untuk bayar kuliah saja, aku harus dibantu oleh saudara ayahku. Rasanya tak mungkin kalau aku minta bantuan lagi. Sampai di rumah sakit, ibu langsung dibawa ke UGD. Sepanjang ibu diperiksa, aku berkali-kali menelepon mbak Aura untuk memberitahu tentang keadaan ibu. Tapi lagi-lagi ia susah dihubungi. Aku hanya berpikir, mungkin seharusnya aku tidak merepotkan kakakku yang juga hidup pas-pasan di kota. Selama ibu berada dirumah sakit, aku berpikir dimana aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi. Hari itu aku bolos kuliah untuk menemani ibu di rumah sakit. Aku sempat melewati sebuah pasar, melihat seorang ibu paruh baya keluar dari toko emas, ia menenteng sebuah dompet yang kurasa penuh sesak dengan uang didalamnya. Ia kelihatan bingung menyembunyikan dompet di genggaman tangannya. Tak sadar aku menabraknya, sontak dompet yang sedari tadi hanya digenggamnya jatuh ke tanah. Dengan akal tak sehatku, aku sambar dompet berisi uang itu. Ibu itu berteriak ke arahku yang mulai lari tunggang langgang. Beberapa warga mengejarku dibelakang dengan meneriakkan sebutan yang sudah banyak dikenal sebelumnya “copet” ya itulah panggilanku saat aku masih menggenggam dompet ini. 

“Astaghfirullahaladzim” gumamku sesaat setelah panggilan shalat dzuhur terdengar. Jadi selama 5 menit aku terpaku disini? Membayangkan menjadi copet untuk biaya operasi ibu? Tapi kenapa remang-remang aku masih mendengar teriakkan itu? Rupanya copet itu mengarah ke arahku. Aku tendang kakinya yang jenjang. Preman pasar bertubuh kurus dan berpakaian ala berandal terjerembab di depanku. Secepatnya kuambil dompet ibu itu. Dan menyerahkan si copet ke warga. “ Lain kali hati-hati bu, kita tidak tahu bahaya apa yang sedang mengintai kita diluar sana” ujarku sambil menyodorkan dompet itu. “Terima kasih nak, ini akan ibu pakai untuk membayar uang sekolah anak ibu, sekali lagi terima kasih.” Ujarnya dengan setengah terisak. Aku masih menuju rumah sakit dengan otak yang masih bingung mencari uang untuk pengobatan ibu. Sesampainya di rumah sakit, aku bertemu Pakde Ali. Seakan bisa membaca pikiranku, ia langsung berkata “ Kamu tidak usah khawatir, biar pakde yang urus semua biaya pengobatan ibumu.” Air mataku mengalir, tidak henti-hentinya aku mengucap hamdalah. Ya Tuhan inikah balasan perbuatanku tadi? Sempat terbesit untuk bertindak keji dan Kau menyadarkanku serta memberi bonus malaikat yang menolong nyawa ibuku. “ Lain kali bilang ya kalau ada apa-apa, biar kami semua tahu bagaimana kondisi keluargamu man, biar kami bisa bantu.” Ujar pakde Ali yang kusambut dengan senyuman.

0 komentar:

Posting Komentar