Ketika
aku harus……
“Copeeeet… copeeeeeett…!!!” Tampak sekerumunan
orang berlari mengejar seorang laki-laki bertubuh kurus yang pontang panting
mengarah ke sembarang tempat untuk lepas dari amukan warga. Sedangkan di sudut
sana seorang ibu mengatur nafas untuk mengembalikan kondisi normalnya, beberapa
ibu berkerumun disekitarnya dan memberikan segelas air putih. Sesekali dia
menyeruput air putihnya dan kembali menangis. Uang satu juta yang baru ia
dapatkan dari menjual emasnya di pasar, rencananya akan ia gunakan untuk
membayar sekolah anaknya yang sudah menunggak 3 bulan. Tapi apa daya, uang itu
telah raib bersama harapannya untuk membuat anaknya tetap bisa belajar bersama
teman-temannya.
“Man, tolong
ibu ambilkan piring nak.” Ujar ibuku. “Tuh si Ani aja yang dimintain tolong,
Firman mau berangkat bu, udah siang nih” jawabku. Aku memang terbiasa membantu
ibu diwaktu pagi. Maklum aku anak kedua dari 3 bersaudara. Dan hanya aku yang
laki-laki. Kakakku sudah menikah dan sekarang ia tinggal di kota bersama
suaminya. Sesekali ia hanya menelepon untuk menanyakan kabar kami sekeluarga.
Sedangkan untuk menengok kami, hanya ia lakukan pada saat lebaran Idul Fitri
saja. Adikku seorang gadis yang pendiam sama sepertiku. Sebentar lagi ia akan
masuk SMP. Sedangkan ayah, 2 tahun yang lalu kecelakaan kerja membuat aku dan
keluargaku kehilangannya. Aku tidak tampan, kulitku sawo matang, tinggiku hanya
sekitar 170 cm, rambut? Ya aku paling malas mencucinya, paling-paling hanya
kuusap dengan gel rambut yang membuatnya setengah berdiri, aku kurus memang,
bukan karena aku tidak pernah makan, tapi sepertinya gen ayahku melekat padaku.
Pagi itu tak seperti biasanya, selesai membantu ibu, aku langsung berangkat
tanpa menyentuh sarapan pagi yang sudah disediakan oleh ibuku. Terlambat,
karena semalaman suntuk aku menonton tayangan sepak bola yang membuatku jadi
bangun kesiangan. “Nggak sarapan dulu man?” Tanya ibuku. “Nggak ah udah
kesiangan bu, tadi juga ibu nyuruh aku jemur baju dulu, jadi tambah kesiangan”
sahutku. Setelah berpamitan aku langsung pergi. Aku memang pendiam, pemalu juga
tidak terlalu terbuka pada siapa saja. Tapi aku selalu punya tekad suatu hari
nanti aku pasti sukses, untuk ibu dan adikku. Semenjak ayah tiada, ibu yang
mencari uang untuk biaya pendidikan dan makan sehari-hari. Aku kadang membantunya
sepulang aku bersekolah. Ibuku seorang yang kreatif, ia selalu membuat cemilan
dan makanan ringan untuk dijajakan di depan rumah. Selain itu ia juga berjualan
makanan seperti gado-gado dan ketoprak.
Ada yang berbeda dari biasanya, ibu tampak pucat dan
lesu. “Bu, ibu nggak apa-apa kan?” tanyaku. “Nggak man, ibu cuma masuk angin.”
Jawabnya tanpa menoleh ke arahku. “Tapi, ibu pucat sekali. Ibu sakit kan?”
tanyaku lagi. “Ayo ke dokter bu.” Lanjutku. Tapi, ia hanya diam tak bergeming.
Ia hanya berkata “Ibu istirahat sebentar ya man?”. Lalu pergi menuju kamar. Dua
hari sudah ibu hanya berbaring dengan mengkonsumsi obat-obatan seadanya.
Kondisinya makin memburuk, karena sering pusing dan mimisan. “Bu, kita harus ke
dokter bu.” Paksaku. “Nggak man, ibu Nggak apa-apa kok.” Kilahnya. “Nggak
apa-apa gimana sih? Orang ibu mimisan terus, pokoknya ibu harus ke dokter.”
Kataku dengan nada agak marah. “Ibu nggak punya uang nak, mau bayar pake apa
kita nanti?” jawabnya. “Itu soal gampang bu, pokonya kita harus ke dokter dulu”
jawabku. Dengan meminjam motor tetangga, aku membonceng ibu ke klinik terdekat.
Aku cemas, ada apa dengan ibu? Penyakit seperti apa yang sedang ia derita? Aku
tidak mau Tuhan, kalau sampai ibuku juga menyusul ayah. “Firman, bisa kita
bicara?.” Tiba-tiba dokter membuyarkan lamunanku. “Ibumu harus dioperasi kecil
untuk mengangkat tumor yang ada di otaknya” Lanjut dokter. “Dan untuk itu, kami
harus merujuknya ke Rumah Sakit yang dapat segera menanganinya. Ini surat
rujukannya, saya harap bisa secepatnya.”
Aku bingung darimana aku mendapatkan uang untuk
operasi itu? Untuk bayar kuliah saja, aku harus dibantu oleh saudara ayahku.
Rasanya tak mungkin kalau aku minta bantuan lagi. Sampai di rumah sakit, ibu
langsung dibawa ke UGD. Sepanjang ibu diperiksa, aku berkali-kali menelepon
mbak Aura untuk memberitahu tentang keadaan ibu. Tapi lagi-lagi ia susah
dihubungi. Aku hanya berpikir, mungkin seharusnya aku tidak merepotkan kakakku
yang juga hidup pas-pasan di kota. Selama ibu berada dirumah sakit, aku
berpikir dimana aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi. Hari itu aku
bolos kuliah untuk menemani ibu di rumah sakit. Aku sempat melewati sebuah
pasar, melihat seorang ibu paruh baya keluar dari toko emas, ia menenteng
sebuah dompet yang kurasa penuh sesak dengan uang didalamnya. Ia kelihatan
bingung menyembunyikan dompet di genggaman tangannya. Tak sadar aku
menabraknya, sontak dompet yang sedari tadi hanya digenggamnya jatuh ke tanah.
Dengan akal tak sehatku, aku sambar dompet berisi uang itu. Ibu itu berteriak
ke arahku yang mulai lari tunggang langgang. Beberapa warga mengejarku
dibelakang dengan meneriakkan sebutan yang sudah banyak dikenal sebelumnya
“copet” ya itulah panggilanku saat aku masih menggenggam dompet ini.
“Astaghfirullahaladzim” gumamku sesaat setelah
panggilan shalat dzuhur terdengar. Jadi selama 5 menit aku terpaku disini?
Membayangkan menjadi copet untuk biaya operasi ibu? Tapi kenapa remang-remang
aku masih mendengar teriakkan itu? Rupanya copet itu mengarah ke arahku. Aku
tendang kakinya yang jenjang. Preman pasar bertubuh kurus dan berpakaian ala
berandal terjerembab di depanku. Secepatnya kuambil dompet ibu itu. Dan
menyerahkan si copet ke warga. “ Lain kali hati-hati bu, kita tidak tahu bahaya
apa yang sedang mengintai kita diluar sana” ujarku sambil menyodorkan dompet
itu. “Terima kasih nak, ini akan ibu pakai untuk membayar uang sekolah anak
ibu, sekali lagi terima kasih.” Ujarnya dengan setengah terisak. Aku masih
menuju rumah sakit dengan otak yang masih bingung mencari uang untuk pengobatan
ibu. Sesampainya di rumah sakit, aku bertemu Pakde Ali. Seakan bisa membaca
pikiranku, ia langsung berkata “ Kamu tidak usah khawatir, biar pakde yang urus
semua biaya pengobatan ibumu.” Air mataku mengalir, tidak henti-hentinya aku
mengucap hamdalah. Ya Tuhan inikah balasan perbuatanku tadi? Sempat terbesit
untuk bertindak keji dan Kau menyadarkanku serta memberi bonus malaikat yang menolong
nyawa ibuku. “ Lain kali bilang ya kalau ada apa-apa, biar kami semua tahu
bagaimana kondisi keluargamu man, biar kami bisa bantu.” Ujar pakde Ali yang
kusambut dengan senyuman.
0 komentar:
Posting Komentar