Minggu, September 29, 2013
0
Pria yang lumayan tinggi, tidak terlalu putih dan berisi duduk di lantai warna merah yang akan aku masuki untuk ikut kelas dasar produksi TV. Hari itu hari pertama aku masuk kuliah, kebetulan dia duduk di belakang tempst duduk ku di kelas. Selama jam pelajaran dia termasuk mahasiswa yang kritis dan banyak bertanya. Suatu hari kesempatan memberi aku waktu untuk berkenalan dengannya. "Agi" singkat dan jelas dia menyebutkan nama pendeknya yang bisa ku pakai untuk memanggilnya. Seiring berjalannya waktu aku semakin mengenalnya, banyak yang bisa kami ceritakan saat bersama, bahkan aku sering pulang bareng. Aku tahu karakternya yang perfectionist dan tidak ingin ada yang salah, jangankan salah kurang saja dia pasti uring-uringan terutama dalam hal agama dan pendidikan selalu berpikir beberapa kali untuk mengambil keputusan. Untuknya, setiap keputusan akan selalu mempunyai berbagai resiko yang harus dipertimbangkan. Sekian lama aku dan dia saling kenal, aku tersadar selama ini aku tidak mengenalnya tapi dia mengenalku dengan baik, dimana rumah ku, bagaimana keluarga ku, masalalu ku, bahkan cerita-cerita pacar dan mantan pacar ku. Satu kalimat andalannya saat aku mengeluh tentang pacar ku "semua cowok memang begitu, pernah denger 2 jenis cowok di dunia ini?" Dan aku selalu menjawabnya "kalo ga brengs*k ya homo" lalu tertawa bersama dan membuat ku lupa semua yang aku keluhkan. Tunggu, aku belum bercerita tentang apa yang di sembunyikannya. Hari itu memang aku tidak bermaksud ingin membuka apa yang selama ini dia sembunyikan karna bagi ku apa yang tidak diceritakan tanpa ditanya berarti tidak untuk di publish. Siang itu dia masuk kelas seperti biasa, namun raut mukanya yang tidak seperti biasanya, dia sedikit menekukan wajahnya, menatap ke arah mana kakinya melangkah selanjutnya, saat dosen menjelaskan pun dia hanya terdiam dan menggoreskan tinta pulpen yang dipegangnya namun tidak teratah, tidak terfokus dengan apa yang dijelaskan hanya mengayunkan perlahan benda yang digenggamnya yang menjadi goresan-goresan di kertas putih bergaris di depannya. Aneh ! Saat aku tanya dia hanya menjawab singkat "gak apa-apa kok" dengan senyuman yang terlalu dipaksakan agar orang yang melihatnya tidak melihat apa yang disembunyikannya. Saat jam pulang pun, dia hanya diam tidak seperti biasanya yang selalu menceramahi aku dengan bebas. Aku memberanikan diri untuk mengajaknya mampir di tempat makan yang kami lewati, bersiap untuk di tolaknya dan mengajak untuk langsung pulang saja, namun ajakan ku di iya kan.
Di tempat makan kami hanya berdiam terfokus pada apa yang sedang kami nikmati, karna bosan aku melihat sekeliling dan menemukan satu yang mencuri perhatian. Seorang pria putih, tinggi, berbadan ideal memakai t-shirt putih polos dan celana pendek selutut, dipadu dengan sepatu casualnya yang senada dengan warna celana. Tanpa aku sadari, mata ku mengikutinya bergerak masuk kearah tempat kami makan dan duduk tepat di sebelah meja aku dan Agi. Pria itu melihat ke arah ku dan Agi yang sedang sibuk mengaduk makannya, mata ku teralih ke arah Agi yang daritadi didepan ku. Ah, iya aku ingin memancingnya untuk bercerita sekedar untuk mengurangi bebannya meski aku tak bisa membantu apa yang sedang dia hadapi. Agi menegakan pandangannya ke arah ku, dia menatap ku heran. "lo kenapa?" "Hah?" Belum aku menjawabnya agi melihat kearah pria yang tadi mencuri perhatian ku. Pria itu pun terlihat kaget dan menghampiri aku dan Agi, ternyata pria itu mengenal Agi dan menegurnya sekedar bertanya dengan siapa dan berkenalan dengn ku. Wajah Agi sedikit terlihat gerogi dan ketakutan, entah apa yang ada dipikirannya. Tidak lama dari sejak perkenalan ku seorang wanita cantik menghampiri kami dan memeluk pria tadi. Agi terlihat salah tingkah dan mencari mencari alasan untuk pergi dati tempat kami makan. Aku mengikutinya yang terburu-buru melangkah keluar, aku berusaha mengejarnya hingga dia berhenti dan terdiam mematung seperti orang yang entah mau kemana, padahal Agi yang aku kenal tidak pernah seceroboh ini. Aku menghampirinya dan tiba-tiba di memeluk ku, saat itu aku merasakan detak jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, dan terisak, aku rasakan tetesan air yang membasahi pundak ku. Tak lama, dia melepas pelukannya dan menatap ku dengan mata basah, aku hanya dapat menatapnya heran. Kami memutuskan untuk pindah ke tempat dimana kami bisa bercerita panjang dengan tenang. Ya, Agi bercerita bahwa pria tadi yang kami temui adalah sang kekasih. Kekasih yang dulu sempat berada disisinya dan membawanya ke dubia yang tak bisa aku mengerti, dunia yang dianggap tak wajar oleh orang lain. Hubungan yang tidak bisa diterima di negara kita. Sebulan berlalu Agi masih tetap murung tak menampakan wajahnya yang pertama aku lihat, dia lebih terlihat pendiam dan tak banyak bicara. Beberapa kali aku bertanya memancingnya bercerita tapi jawabannya selalu tidak membuka pembicaraan, aku jadi jarang pulang bareng lagi sejak kejadian sebulan lalu, dia menutup dirinya. Hari itu Agi bolos, dan tidak ada kabar, tidak seperti biasanya dia termasuk anak yang rajin dan mengusahakan untuk masuk kuliah, baginya kehadiran sangat berpengaruh pada nilai yang dia dapat. Aku berusaha menghubunginya dengan berbagai cara, menelpon, sms, tapi aku tak bisa mendapatkan kabar. 3 hari dia tidak menampakan diri di hadapan ku, akhirnya dia datang dan menampakan diri yang aku tak lagi mengenalnya. Dia duduk di belakang tempat duduk ku seperti pertama kali aku bertemu, dia lebih banyak diam dan sesekali merobek kertas yang ada di hadapannya. Tanpa pikir panjang saat jam pulang aku menajaknya untuk pulang bareng lagi, disana dia bercerita tentang apa yang dilewatinya 3 hari lalu. Pria yang waktu itu aku temui di tempat makan, pria yang diakuinya sebagai kekasihnya, pria yang membuatnya menangis dan mulai bercerita tentang hal yang tak bisa diterima akal sehat, pria yang sempat menarik perhatian ku, pria itu 3 hari lalu pergi. Bukan pergi untuk pria/wanita lain seperti saat itu, tapi pergi untuk mempertanggung jawabkan apa yang dia perbuat selama dia hidup. Pria itu meninggal.

0 komentar:

Posting Komentar