oleh:
Aditya Feri Wardani - 44112120065
Mula-mula beberapa anak kecil berlari-larian di belakang mobil BMW yang membawa Aning sambil sesekali mencoba tangan-tangan kecil itu memegang body mulus mobil, atau juga melongok sosok yang ada di dalam mobil tersebut. Ketika Aning menurunkan barang-barang yang ada di dalam mobil, beberapa anak kecil yang lain berdatangan, berharap dapat bagian atau hadiah kecil dari Aning.
Beberapa tetangga yang lihat Nampak menasihati anak-anaknya. “Contohlah Aning itu, ayu, pinter, maju, bisa mbantu orangtuanya”,
Di teras rumah yang terbilang paling megah di dusun itu, bapak dan ibu menyambut kepulangan anaknya yang hanya beberapa hari.
“Sudah hendak pergi lagi, nak?”
“Ya, Bu. Banyak tugas di kerjaan menunggu”
“Tinggalah beberapa saat lagi”
“Maaf Bu, ananda mesti pergi”
“Kau akan kirim kabar pada kami, kan nak?”
“Tentu, telepon genggam yang ananda kasih kemarin dijaga Bu, jangan sampai kehabisan baterai”
***
Aning adalah sebuah fenomena dusun ini, sudah tujuh tahun ini ia merantau, ada teman lama yang membawanya ke Ibu kota. Harapannya dulu hanya bisa kerja dan dapat duit banyak di kota, ndilalah nasib mujur juga berpihak padanya. Kerja keras yang dilalui tak sia-sia, Aning kerja di stasiun televisi swasta bahkan juga bisa membagi waktu untuk nerusin sekolah untuk jadi sarjana.
Lulus kuliah Aning mendapat posisi penting sebagai tim kreatif dalam sebuah program acara televisi, itu belum termasuk kesibukannya yang juga sering jadi model, postur tak terlalu tinggi tapi proporsional, juga wajah warna kulit yang eksotik menjadi nilai plus sendiri dalam menjalani hobi yang menjadi kerjaan sampingan tersebut.
Suatu malam berhujan, sang Ibu telepon
“kapan pulang, nak?”
“Entah, Bu”, Aning serasa ingin menghindar dari nada cemas ibunya,
Aning tak terlalu yakin, apakah suatu hari nanti memang akan pulang. Karena saat ini, benaknya hanya ada kesibukan dan tugas yang menumpuk.
Pada awal kepergiannya ke Ibu kota, memang, ia masih rajin mengirim kabar meski Aning tak begitu yakin adakah cerita-cerita yang dituturkannya itu ada gunanya bagi sang ibu. Ia merasa bosan karena harus mengucap dan mengulang kata-kata yang sama, Ananda dalam keadaan baik, semoga demikian ibu dan bapak di dusun, ananda berdoa……., dan ia merasa jengah karena sesungguhnya ia tak pernah sekalipun mendoakan orangtuanya.
Lantas ia pun jarang telepon karena terlalu asyik dengan kesibukannya, ataupun pikirannya yang terkuras deadline.
Dan kini Aning harus kembali pulang hanya gara-gara telepon ibunya. Bapakmu sakit keras, sekarang opname di Sardjito. Lalu ia memandang kelam diluar jendela apartemennya. Malam yang hening, suara dari telepon itu serasa masih memenuhi ruangan kamar. Dadanya sesak.
Pikirannya mengawang, perhatian tak sekadar materi. Meski itu pemahaman pokok bagi Aning tentang kebahagiaan, padahal ia juga tak terlalu yakin apakah ia bahagia. Mungkin saja ada saat-saat yang sungguh membuatnya bahagia, tapi kini ia tak bisa mengingatnya. Dalam ingatannya kini: bapak. Penuh kerut, rambut yang kian memutih. Ia tak lupa raut wajah beliau yang nampak kecewa, ketika suatu senja ia berpamitan untuk merantau ke Jakarta, “Jangan lama-lama disana, bapak ibu sudah tua ndak ada yang jaga”
selesai
Beberapa tetangga yang lihat Nampak menasihati anak-anaknya. “Contohlah Aning itu, ayu, pinter, maju, bisa mbantu orangtuanya”,
Di teras rumah yang terbilang paling megah di dusun itu, bapak dan ibu menyambut kepulangan anaknya yang hanya beberapa hari.
“Sudah hendak pergi lagi, nak?”
“Ya, Bu. Banyak tugas di kerjaan menunggu”
“Tinggalah beberapa saat lagi”
“Maaf Bu, ananda mesti pergi”
“Kau akan kirim kabar pada kami, kan nak?”
“Tentu, telepon genggam yang ananda kasih kemarin dijaga Bu, jangan sampai kehabisan baterai”
***
Aning adalah sebuah fenomena dusun ini, sudah tujuh tahun ini ia merantau, ada teman lama yang membawanya ke Ibu kota. Harapannya dulu hanya bisa kerja dan dapat duit banyak di kota, ndilalah nasib mujur juga berpihak padanya. Kerja keras yang dilalui tak sia-sia, Aning kerja di stasiun televisi swasta bahkan juga bisa membagi waktu untuk nerusin sekolah untuk jadi sarjana.
Lulus kuliah Aning mendapat posisi penting sebagai tim kreatif dalam sebuah program acara televisi, itu belum termasuk kesibukannya yang juga sering jadi model, postur tak terlalu tinggi tapi proporsional, juga wajah warna kulit yang eksotik menjadi nilai plus sendiri dalam menjalani hobi yang menjadi kerjaan sampingan tersebut.
Suatu malam berhujan, sang Ibu telepon
“kapan pulang, nak?”
“Entah, Bu”, Aning serasa ingin menghindar dari nada cemas ibunya,
Aning tak terlalu yakin, apakah suatu hari nanti memang akan pulang. Karena saat ini, benaknya hanya ada kesibukan dan tugas yang menumpuk.
Pada awal kepergiannya ke Ibu kota, memang, ia masih rajin mengirim kabar meski Aning tak begitu yakin adakah cerita-cerita yang dituturkannya itu ada gunanya bagi sang ibu. Ia merasa bosan karena harus mengucap dan mengulang kata-kata yang sama, Ananda dalam keadaan baik, semoga demikian ibu dan bapak di dusun, ananda berdoa……., dan ia merasa jengah karena sesungguhnya ia tak pernah sekalipun mendoakan orangtuanya.
Lantas ia pun jarang telepon karena terlalu asyik dengan kesibukannya, ataupun pikirannya yang terkuras deadline.
Dan kini Aning harus kembali pulang hanya gara-gara telepon ibunya. Bapakmu sakit keras, sekarang opname di Sardjito. Lalu ia memandang kelam diluar jendela apartemennya. Malam yang hening, suara dari telepon itu serasa masih memenuhi ruangan kamar. Dadanya sesak.
Pikirannya mengawang, perhatian tak sekadar materi. Meski itu pemahaman pokok bagi Aning tentang kebahagiaan, padahal ia juga tak terlalu yakin apakah ia bahagia. Mungkin saja ada saat-saat yang sungguh membuatnya bahagia, tapi kini ia tak bisa mengingatnya. Dalam ingatannya kini: bapak. Penuh kerut, rambut yang kian memutih. Ia tak lupa raut wajah beliau yang nampak kecewa, ketika suatu senja ia berpamitan untuk merantau ke Jakarta, “Jangan lama-lama disana, bapak ibu sudah tua ndak ada yang jaga”
selesai
0 komentar:
Posting Komentar