oleh:
Anisa Cholifah
Merantau. Merantau itu mirip uji nyali. Di dalam merantau kita dituntut untuk bisa survive sama kehidupan kita sendiri, tidak ditemani sama siapapun. Dalam merantau, kita dituntut untuk bisa berani menghadapi semua masalah sendiri. Bedanya, kalau dalam uji nyali, kita bisa melambaikan tangan kalau udah ngerasa ga kuat, dan akan berdatangan orang-orang untuk menolong kita. Di perantauan yang sesungguhnya tidak akan pernah ada kamera yang bisa kita beri lambaian tangan kalau kita ngerasa ga kuat, sekuat apapun kita harus berusaha survive, bertahan di antara semua halangan, bertahan diantara semua kesulitan.
Kulaju “Byson”-ku menyusuri dinginnya malam di ibu kota. Udara malam memang dingin, tapi suasana di sini selalu panas. Jakarta memang tidak pernah tidur. Berlindung di balik jaket kulit coklat kesayangan dan sepatu boot kebanggaan, aku selalu merasa gagah tiap berusaha mengalahkan malam. Bergaya ala geng motor professional, menembus keramaian untuk akhirnya bisa sampai ke peraduan. Namaku Dewo, perantau dari Surabaya.
Tempat kost-an terletak di sebuah daerah di utara Jakarta. Tempatnya memang kecil, berantakan pula, tempat bujang. Di kamar ini hanya ada tempat tidur seukuran badan, berdiri gagah di sampingnya ada lemari pakaian yang tak terlalu besar, meja tempatku meletakkan buku-bukuku, televisi jadul 14 inch yang masih berfungsi dengan cukup baik, dan kipas angin menggantung di plafon atas kamar. Tapi ini semua sudah cukup, toh aku di sini tak berapa lama setiap harinya, hanya untuk menumpang memejamkan mata ketika lelah menyapa. Kehidupanku lebih banyak di luar sana. Bekerja, kuliah, bergaul semua kulakukan di luar lingkungan tempat kost, tapi kemanapun aku pergi toh aku akan selalu kembali. Kembali ke “rumah” yang nyaman, setidaknya aku berusaha begitu meskipun kota ini tak bisa membuatku melupakan kerinduan akan kampung halaman. Inilah hidupku, dalam perantauan.
***
Kelas hari ini selesai, masih siang. Hari ini memang hanya ada 2 matakuliah, dan selesai sudah. Aku melangkah ringan di koridor ruangan yang ramai. Teman-temankupun sudah berjalan beriring menuju kantin kampus yang menjadi tempat tujuan utama setelah kuliah ini, kami kelaparan.
Ponselku berbunyi. dari Pakde Kirno, pamanku di Surabaya. Tak biasanya. Kutekan tombol hijau di ponsel dan mulai bicara,
“Assalamu’alaykum Pakde..”
“wa’alaykumsalam Le, piye kabarmu nang Jakarta? Sehat tho?” sahut pamanku cepat “ Le, Lebaran tahun ini bisa pulang ndak? Ibumu kangen, kamu diminta pulang tahun ini. Sempatkan ya, Le..?”
Aku tertegun. Memang sudah lama sekali aku tidak pulang ke kampungku di Surabaya. Masih banyak hal yang harus kukerjakan di sini. Tapi ibuku sudah berpesan, rasanya tak bisa lagi kutangguhkan. Setelah berpikir sebentar, akhirnya “iya pakde, saya usahakan”
“bagus kalau begitu, nanti pakde langsung sampaikan ke ibumu” nada suara pakde terdengar senang. “ya wis Le, tak tutup dulu telponnya, Assalamu’alaykum..”
“wa’alaykumsalam..” sambungan telepon putus.
Setelah sekian lama seakan aku lupa pulang, kembali aku diingatkan bahwa dalam perantauan banyak yang kutinggalkan. Meski restu orangtua sudah dalam genggaman, tetap saja akan nada kerinduan. Aku sadar, terlalu lama aku tak pulang, dan aku mengerti benar betapa pengertiannya orangtuaku. Tahun ini aku akan berbalik lagi, memenuhi keinginan orangtuaku, memenuhi keinginan hatiku yang lama kutahan. Aku akan pulang..
***
Kereta melaju. Membawaku menuju desa nan kurindu. Perjalanan masih sekitar 10 jam lagi, tapi seakan fikiranku sudah sampai di sana, di desaku. Aku teringat kembali pada masa-masa kecilku dulu, keluargaku, tetanggaku, dan sahabat sejatiku, Marni..
Marni, saat aku kecil keluarganya pindah ke desaku. rumahnya berjarak 15 rumah dari kediamanku. Aku pertama kali bertemu dengannya saat sedang main sepeda berkeliling. Saat itu kulihat dia sedang bermain sendiri di bawah pohon sawo di tak jauh dari rumahnya. Penasaran, kudekati marni kecil yang tak terlihat kesepian bermain sendirian. Kusandarkan sepedaku di batang pohon, ia melihat ke arahku, tersenyum.
“kamu siapa” tanyaku
“marni, aku baru pindah di sini.” ia menjawab dengan enteng “kamu siapa”
“Dewo..” aku tak canggung lagi mendengar nada bicaranya “kamu main apa?”
“putri-putrian. Tentang dongeng yang sering diceritakan ibu sebelum aku tidur. Aku sering main ini..” pikiran marni menerawang, tampak mengingat-ingat permainannnya.
“oke, ayo kita main..”
Sejak saat itu kami selalu bermain bersama. Tumbuh bersama. Kami sangat dekat, sampai SMA kami selalu satu sekolah, meskipun tidak selalu sekelas. Terakhir kulihat dia 5 tahun lalu, sebelum kuputuskan mengadu nasibku ke kota lain.. “aah apa kabarnya dia sekarang??” aku bergumam.
Kereta berhenti, tersentakku dari lamunan. Rupanya sudah tiba di stasiun Cirebon, kereta akan berhenti untuk beberapa menit. Kuputuskan untuk meregangkan kakiku dan keluar untuk membeli beberapa keperluan. Perjalanan masih panjang..
***
Setibaku di kampung halaman, udara di sini tercium berbeda dari yang kuhirup selama beberapa tahun ini di kota. Pemandangan di sini tak banyak berubah semenjak kutinggalkan. Desaku seperti terbelah 2, di sisi kiri jalan raya tempatku bediri, membentang luas sawah-sawah dan sungai irigasi, tampak beberapa tetangga yang kukenal sedang asyik mengolah sawahnya, di samping kanan ada pemukiman warga termasuk rumahku di sana. Sungguh tidak banyak yang berubah, kecuali jumlah rumah di area pemukiman yang terlihat lebih padat, pembangunan mulai ramai rupanya, ini merupakan kemajuan, pikirku.
Mulai melangkah menuju rumah, aku gugup. Tersenyum-senyum sendiri memikirkan bagaimana tanggapan orangtuaku saat melihatku sekarang. Langkah demi langkah kususuri jalan setapak yang sangat kukenal, melewati rumah tetangga-tetanggaku yang sudah seperti saudara. Senyum mereka menyambutku, setelah beramah tamah sebentar aku melanjutkan berjalan. Aku tak ingin kemanapun dulu sebelum sampai di rumahku.
Suasana rumah sepi, pintu terbuka seperti biasa. Aku masuk. Celingukan di rumahku sendiri, benar-benar sepi.
“Assalamu’alaykum..” aku mulai mengucap salam, dan kuulangi beberapa kali “Assalamu’alaykum..”
Terdengar jawaban lirih dari arah kamar belakang, kamar orangtuaku “Wa’alaykumsalam..”
Aku menghambur menghampiri suara yang begitu kukenal, suara ibu. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya dan langsung menangis saat melihatku. Ibuku hampir tak pernah menangis di hadapanku, tapi hari ini aku sadar betapa aku sangat kurang ajar, meninggalkan ia tanpa pernah menoleh ke belakang.
“kamu sehat, Le? Badanmu tambah besar sekarang..” ujar ibuku
“iya bu, berkat doa ibu dan bapak..” aku tersenyum. “bapak kemana, bu?” sambungku
“biasa, Le. Bapakmu ke sawah, sebentar lagi kita panen padi” ibu menjelaskan
Belum sempat aku menanyakan hal lainnya, Bapak sudah muncul di depan pintu bersama beberapa tetangga lainnya. Rupanya selepas melihatku tadi, mereka memanggilkan Bapak untuk segera pulang menemuiku. Desa ini betul-betul tidak berubah, kehangatannya tetap sama seperti sebelum kutinggalkan.
Hampir semua teman masa kecilku datang untuk menyambut kedatanganku. Satu per satu mereka menanyakan kabar, mendengarkan apa saja ceritaku tentang Ibukota, pekerjaanku, kehidupanku. Banyak yang kuceritakan, namun mereka begitu mengerti bahwa aku lelah sehabis perjalanan, Mereka pulang setelah dirasa cukup menyalamiku. Selepas kepulangan mereka, kuputuskan untuk langsung beristirahat, ya aku memang lelah. Kuputuskan besok aku akan berkunjung ke rumah-rumah saudaraku dan kawan-kawan yang tak tahu kedatanganku. Dan lagi, aku akan ke rumah Marni..
***
Esok harinya. Aku bangun pagi-pagi sekali. Selepas sholat subuh aku keluar rumah untuk menikmati udara pagi. Aaah, memang udara di sini tak pernah kalah, selalu memenangkan perasaanku. Bagus memang sekali-kali begini, penyegaran kembali setelah semua tuntutan hidup yang tak kenal henti. Saat matahari sudah cukup tinggi, aku kembali ke rumah untuk kemudian bersiap berkeliling bersilaturahmi.
Suasana setiap tempat yang kukunjungi tak jauh berbeda, ramai. Candaan-candaan khas kawanku dulu kembali terdengar, meledakkan tawaku yang tak tertahankan. Teman-teman membawaku ke tempat tongkrongan kami dulu untuk bernostalgia, warung soto Pak Min. rumah yang sekaligus tempat berjualan soto ini masih berdiri kokoh diantara bangunan-bangunan baru yang mengelilinginya, tempat ini terlihat lebih kecil apalagi ukuran badanku dan teman-temanku sudah tumbuh pesat sejak terakhir kali kami bertandang. Matahari mulai meninggi, setelah puas berkelakar, kulanjutkan kembali perjalanan menuju rumah Marni. Sengaja aku tak ingin terlalu sore, aku ingin bicara banyak kepada sahabat kentalku itu..
Tiba di rumah Marni aku disambut kedua orangtuanya, dipersilahkan masuk dan diberikan hidangan, namun setelah berapa lama Marni tak juga kelihatan.
“Marni kemana ya, Pakde?” tanyaku penasaran
“ooh Marni.. keasyikan ngobrol sama kamu Pakde sampai lupa kalau kamu pasti kangen sama kembaranmu itu..” Pakde tersenyum
Aku meringis lebar, tak tahan ketika kami disebut “kembaran”.
“Marni ada, di tempat kalian biasa main dulu. Di pohon dekat kebun sana” sambung ayah Marni memberitahu
“baiklah Pakde, saya susul Marni kesana, ya..” tanpa basa-basi lagi aku minta diri
***
Marni terlihat sedang bergelayut menggantung di ayunan yang dulu ayahnya buatkan untu kami bermain. Aku menghampirinya, seketika itu pula senyum khasnya merekah menyambut kedatanganku. Ia terus tersenyum hingga aku sampai di hadapannya.
“masih ingat pulang, kau?” tanyanya masih dengan senyum
“iya, aku masih ingat kamu..” jawabku meledek
“halah, paling juga kamu pulang karena disuruh ibumu. Orang kota mana mau ingat-ingat sama orang dusun. Ndak level, toh?” Marni merengut
“hahaha bisa aja kau, Mar. belum berubah juga rupanya. Masih betah ya jadi tukang sindir??” sahutku meledek. Tawa kami lepas seketika
Setelah aku bisa menguasai diriku kembali. Aku mendekati badan pohon yang diameternya kian besar, namun masih kokoh ini.
"pohon ini saksi. dulu ketika kau kecil, kau selalu bermimpi menjadi puteri, dan selalu memaksaku memerankan diri menjadi pangeran. dengan dialog wajib dalam setiap sandiwara kita 'hai puteri nan jelita, maukah kau ikut denganku dan kita hidup bahagia selamanya?', lalu kau akan mengangguk terharu dan kita berpura menaiki kuda putih menuju istana. ini pohon lamaran kita, tempatku untuk secara tidak langsung berlatih melamarmu di tahun-tahun yang lalu.." aku tersenyum sambil memegangi batang pohon, berusaha mengingat-ingat semua kenangan kecil kami.
Menoleh ke arah Marni, ekspresinya berubah sendu. “Marni, ada apa?” aku bertanya hati-hati. “kau mau aku coba lamar kembali?” tanyaku kaku, berusaha membuatnya tersenyum.
Marni masih terdiam sendiri, dengan ekspresi yang tak bisa jelas kumengerti. Mungkin kata-kataku tadi menyinggungnya, sebab kalimat seperti itu memang rancu, apalagi untuk kami yang bukan anak-anak lagi. Tetapi sejujurnya, ada perasaan aneh yang hinggap saat kata-kata terakhir itu kuucapkan, aku tak berani mendeskripsikan lebih jauh.
Marni menghela nafas, terlihat ia sudah mulai angkat bicara. Kemudian.. “Wo, saat aku mengantarmu pergi dulu..” kata-katanya terputus
"jika saat itu kau pinta aku untuk menunggu, akan kulakukan. sungguh. tetapi kau terlalu abu-abu, hanya berdiri di sampingku. tanpa tanda yang bisa kubaca, tanpa rasa yang bisa kupercaya.."
DEG!
Jantungku seakan berhenti sesaat. Mencoba mencerna kata-kata yang baru saja kudengar. Aku mengerti, hanya tak bisa memahami bagaimana itu bisa terjadi, aku tak memikirkan bagaimana perasaan Marni selama ini.
Marni mulai berbicara lagi “setelah kepergianmu, dalam ketidakpastian aku mencari-cari berbagai alasan untuk menunggumu atau melepaskanmu. Lalu kuputuskan untuk mempercayai bahwa perasaan yang kurasakan hanya seperti kertas yang dirobek dalam serpihan. Tak berbalaskan. Mungkin aku salah, tapi kaupun tak menunjukkan padaku bahwa itu benar. Aku hidup dalam kepercayaan yang kubuat sendiri, karena kata yang kutunggu tak juga kudengar darimu..”
Aku masih terdiam. Marni mulai tersenyum kembali, membangun emosinya. “kau pasti kaget, aku mengerti..” kata-katanya terpotong “..aku tak bermaksud apapun, tak juga berharap apapun. Aku hanya ingin kamu tahu, demi egoku.”
Hening..
“bulan depan pertunanganku dilangsungkan, dan pesta pernikahan 3 bulan berikutnya. Aku akan memulai hidup baru, Dewo. Dan aku ingin memulainya dengan hati yang baru. Tidakkah kau berbahagia untukku??” Marni merekahkan senyum, aku masih saja terdiam. Berpikir.
Selama ini aku terlalu nyaman dengan kebersamaan kami. Hingga aku tak pernah khawatir bila suatu hari Marni akan pergi. Tak pernah terpikirkan.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terkunci rapat. Marni tersenyum kepadaku. Dia mengerti aku. Akupun mengerti dia hanya berharap aku bisa berbahagia untuknya. Aku heran mengapa hal ini bisa terasa begitu sulit.
Marni beranjak dari ayunannya, melenggang meninggalkanku yang masih tak sanggup meminta kata. Aku memperhatikan benda yang masih terayun di depanku perlahan. Seperti bandul yang digunakan para penghipnotis jalanan. Aku memang terhipnotis, perintah yang memintaku untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Hingga akhirnya sang bandul berhenti, tinggalah angin berhembus dan daun yang jatuh membelaiku dan buat jantungku berdesir. Getir..
Merantau. Merantau itu mirip uji nyali. Di dalam merantau kita dituntut untuk bisa survive sama kehidupan kita sendiri, tidak ditemani sama siapapun. Dalam merantau, kita dituntut untuk bisa berani menghadapi semua masalah sendiri. Bedanya, kalau dalam uji nyali, kita bisa melambaikan tangan kalau udah ngerasa ga kuat, dan akan berdatangan orang-orang untuk menolong kita. Di perantauan yang sesungguhnya tidak akan pernah ada kamera yang bisa kita beri lambaian tangan kalau kita ngerasa ga kuat, sekuat apapun kita harus berusaha survive, bertahan di antara semua halangan, bertahan diantara semua kesulitan.
Kulaju “Byson”-ku menyusuri dinginnya malam di ibu kota. Udara malam memang dingin, tapi suasana di sini selalu panas. Jakarta memang tidak pernah tidur. Berlindung di balik jaket kulit coklat kesayangan dan sepatu boot kebanggaan, aku selalu merasa gagah tiap berusaha mengalahkan malam. Bergaya ala geng motor professional, menembus keramaian untuk akhirnya bisa sampai ke peraduan. Namaku Dewo, perantau dari Surabaya.
Tempat kost-an terletak di sebuah daerah di utara Jakarta. Tempatnya memang kecil, berantakan pula, tempat bujang. Di kamar ini hanya ada tempat tidur seukuran badan, berdiri gagah di sampingnya ada lemari pakaian yang tak terlalu besar, meja tempatku meletakkan buku-bukuku, televisi jadul 14 inch yang masih berfungsi dengan cukup baik, dan kipas angin menggantung di plafon atas kamar. Tapi ini semua sudah cukup, toh aku di sini tak berapa lama setiap harinya, hanya untuk menumpang memejamkan mata ketika lelah menyapa. Kehidupanku lebih banyak di luar sana. Bekerja, kuliah, bergaul semua kulakukan di luar lingkungan tempat kost, tapi kemanapun aku pergi toh aku akan selalu kembali. Kembali ke “rumah” yang nyaman, setidaknya aku berusaha begitu meskipun kota ini tak bisa membuatku melupakan kerinduan akan kampung halaman. Inilah hidupku, dalam perantauan.
***
Kelas hari ini selesai, masih siang. Hari ini memang hanya ada 2 matakuliah, dan selesai sudah. Aku melangkah ringan di koridor ruangan yang ramai. Teman-temankupun sudah berjalan beriring menuju kantin kampus yang menjadi tempat tujuan utama setelah kuliah ini, kami kelaparan.
Ponselku berbunyi. dari Pakde Kirno, pamanku di Surabaya. Tak biasanya. Kutekan tombol hijau di ponsel dan mulai bicara,
“Assalamu’alaykum Pakde..”
“wa’alaykumsalam Le, piye kabarmu nang Jakarta? Sehat tho?” sahut pamanku cepat “ Le, Lebaran tahun ini bisa pulang ndak? Ibumu kangen, kamu diminta pulang tahun ini. Sempatkan ya, Le..?”
Aku tertegun. Memang sudah lama sekali aku tidak pulang ke kampungku di Surabaya. Masih banyak hal yang harus kukerjakan di sini. Tapi ibuku sudah berpesan, rasanya tak bisa lagi kutangguhkan. Setelah berpikir sebentar, akhirnya “iya pakde, saya usahakan”
“bagus kalau begitu, nanti pakde langsung sampaikan ke ibumu” nada suara pakde terdengar senang. “ya wis Le, tak tutup dulu telponnya, Assalamu’alaykum..”
“wa’alaykumsalam..” sambungan telepon putus.
Setelah sekian lama seakan aku lupa pulang, kembali aku diingatkan bahwa dalam perantauan banyak yang kutinggalkan. Meski restu orangtua sudah dalam genggaman, tetap saja akan nada kerinduan. Aku sadar, terlalu lama aku tak pulang, dan aku mengerti benar betapa pengertiannya orangtuaku. Tahun ini aku akan berbalik lagi, memenuhi keinginan orangtuaku, memenuhi keinginan hatiku yang lama kutahan. Aku akan pulang..
***
Kereta melaju. Membawaku menuju desa nan kurindu. Perjalanan masih sekitar 10 jam lagi, tapi seakan fikiranku sudah sampai di sana, di desaku. Aku teringat kembali pada masa-masa kecilku dulu, keluargaku, tetanggaku, dan sahabat sejatiku, Marni..
Marni, saat aku kecil keluarganya pindah ke desaku. rumahnya berjarak 15 rumah dari kediamanku. Aku pertama kali bertemu dengannya saat sedang main sepeda berkeliling. Saat itu kulihat dia sedang bermain sendiri di bawah pohon sawo di tak jauh dari rumahnya. Penasaran, kudekati marni kecil yang tak terlihat kesepian bermain sendirian. Kusandarkan sepedaku di batang pohon, ia melihat ke arahku, tersenyum.
“kamu siapa” tanyaku
“marni, aku baru pindah di sini.” ia menjawab dengan enteng “kamu siapa”
“Dewo..” aku tak canggung lagi mendengar nada bicaranya “kamu main apa?”
“putri-putrian. Tentang dongeng yang sering diceritakan ibu sebelum aku tidur. Aku sering main ini..” pikiran marni menerawang, tampak mengingat-ingat permainannnya.
“oke, ayo kita main..”
Sejak saat itu kami selalu bermain bersama. Tumbuh bersama. Kami sangat dekat, sampai SMA kami selalu satu sekolah, meskipun tidak selalu sekelas. Terakhir kulihat dia 5 tahun lalu, sebelum kuputuskan mengadu nasibku ke kota lain.. “aah apa kabarnya dia sekarang??” aku bergumam.
Kereta berhenti, tersentakku dari lamunan. Rupanya sudah tiba di stasiun Cirebon, kereta akan berhenti untuk beberapa menit. Kuputuskan untuk meregangkan kakiku dan keluar untuk membeli beberapa keperluan. Perjalanan masih panjang..
***
Setibaku di kampung halaman, udara di sini tercium berbeda dari yang kuhirup selama beberapa tahun ini di kota. Pemandangan di sini tak banyak berubah semenjak kutinggalkan. Desaku seperti terbelah 2, di sisi kiri jalan raya tempatku bediri, membentang luas sawah-sawah dan sungai irigasi, tampak beberapa tetangga yang kukenal sedang asyik mengolah sawahnya, di samping kanan ada pemukiman warga termasuk rumahku di sana. Sungguh tidak banyak yang berubah, kecuali jumlah rumah di area pemukiman yang terlihat lebih padat, pembangunan mulai ramai rupanya, ini merupakan kemajuan, pikirku.
Mulai melangkah menuju rumah, aku gugup. Tersenyum-senyum sendiri memikirkan bagaimana tanggapan orangtuaku saat melihatku sekarang. Langkah demi langkah kususuri jalan setapak yang sangat kukenal, melewati rumah tetangga-tetanggaku yang sudah seperti saudara. Senyum mereka menyambutku, setelah beramah tamah sebentar aku melanjutkan berjalan. Aku tak ingin kemanapun dulu sebelum sampai di rumahku.
Suasana rumah sepi, pintu terbuka seperti biasa. Aku masuk. Celingukan di rumahku sendiri, benar-benar sepi.
“Assalamu’alaykum..” aku mulai mengucap salam, dan kuulangi beberapa kali “Assalamu’alaykum..”
Terdengar jawaban lirih dari arah kamar belakang, kamar orangtuaku “Wa’alaykumsalam..”
Aku menghambur menghampiri suara yang begitu kukenal, suara ibu. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya dan langsung menangis saat melihatku. Ibuku hampir tak pernah menangis di hadapanku, tapi hari ini aku sadar betapa aku sangat kurang ajar, meninggalkan ia tanpa pernah menoleh ke belakang.
“kamu sehat, Le? Badanmu tambah besar sekarang..” ujar ibuku
“iya bu, berkat doa ibu dan bapak..” aku tersenyum. “bapak kemana, bu?” sambungku
“biasa, Le. Bapakmu ke sawah, sebentar lagi kita panen padi” ibu menjelaskan
Belum sempat aku menanyakan hal lainnya, Bapak sudah muncul di depan pintu bersama beberapa tetangga lainnya. Rupanya selepas melihatku tadi, mereka memanggilkan Bapak untuk segera pulang menemuiku. Desa ini betul-betul tidak berubah, kehangatannya tetap sama seperti sebelum kutinggalkan.
Hampir semua teman masa kecilku datang untuk menyambut kedatanganku. Satu per satu mereka menanyakan kabar, mendengarkan apa saja ceritaku tentang Ibukota, pekerjaanku, kehidupanku. Banyak yang kuceritakan, namun mereka begitu mengerti bahwa aku lelah sehabis perjalanan, Mereka pulang setelah dirasa cukup menyalamiku. Selepas kepulangan mereka, kuputuskan untuk langsung beristirahat, ya aku memang lelah. Kuputuskan besok aku akan berkunjung ke rumah-rumah saudaraku dan kawan-kawan yang tak tahu kedatanganku. Dan lagi, aku akan ke rumah Marni..
***
Esok harinya. Aku bangun pagi-pagi sekali. Selepas sholat subuh aku keluar rumah untuk menikmati udara pagi. Aaah, memang udara di sini tak pernah kalah, selalu memenangkan perasaanku. Bagus memang sekali-kali begini, penyegaran kembali setelah semua tuntutan hidup yang tak kenal henti. Saat matahari sudah cukup tinggi, aku kembali ke rumah untuk kemudian bersiap berkeliling bersilaturahmi.
Suasana setiap tempat yang kukunjungi tak jauh berbeda, ramai. Candaan-candaan khas kawanku dulu kembali terdengar, meledakkan tawaku yang tak tertahankan. Teman-teman membawaku ke tempat tongkrongan kami dulu untuk bernostalgia, warung soto Pak Min. rumah yang sekaligus tempat berjualan soto ini masih berdiri kokoh diantara bangunan-bangunan baru yang mengelilinginya, tempat ini terlihat lebih kecil apalagi ukuran badanku dan teman-temanku sudah tumbuh pesat sejak terakhir kali kami bertandang. Matahari mulai meninggi, setelah puas berkelakar, kulanjutkan kembali perjalanan menuju rumah Marni. Sengaja aku tak ingin terlalu sore, aku ingin bicara banyak kepada sahabat kentalku itu..
Tiba di rumah Marni aku disambut kedua orangtuanya, dipersilahkan masuk dan diberikan hidangan, namun setelah berapa lama Marni tak juga kelihatan.
“Marni kemana ya, Pakde?” tanyaku penasaran
“ooh Marni.. keasyikan ngobrol sama kamu Pakde sampai lupa kalau kamu pasti kangen sama kembaranmu itu..” Pakde tersenyum
Aku meringis lebar, tak tahan ketika kami disebut “kembaran”.
“Marni ada, di tempat kalian biasa main dulu. Di pohon dekat kebun sana” sambung ayah Marni memberitahu
“baiklah Pakde, saya susul Marni kesana, ya..” tanpa basa-basi lagi aku minta diri
***
Marni terlihat sedang bergelayut menggantung di ayunan yang dulu ayahnya buatkan untu kami bermain. Aku menghampirinya, seketika itu pula senyum khasnya merekah menyambut kedatanganku. Ia terus tersenyum hingga aku sampai di hadapannya.
“masih ingat pulang, kau?” tanyanya masih dengan senyum
“iya, aku masih ingat kamu..” jawabku meledek
“halah, paling juga kamu pulang karena disuruh ibumu. Orang kota mana mau ingat-ingat sama orang dusun. Ndak level, toh?” Marni merengut
“hahaha bisa aja kau, Mar. belum berubah juga rupanya. Masih betah ya jadi tukang sindir??” sahutku meledek. Tawa kami lepas seketika
Setelah aku bisa menguasai diriku kembali. Aku mendekati badan pohon yang diameternya kian besar, namun masih kokoh ini.
"pohon ini saksi. dulu ketika kau kecil, kau selalu bermimpi menjadi puteri, dan selalu memaksaku memerankan diri menjadi pangeran. dengan dialog wajib dalam setiap sandiwara kita 'hai puteri nan jelita, maukah kau ikut denganku dan kita hidup bahagia selamanya?', lalu kau akan mengangguk terharu dan kita berpura menaiki kuda putih menuju istana. ini pohon lamaran kita, tempatku untuk secara tidak langsung berlatih melamarmu di tahun-tahun yang lalu.." aku tersenyum sambil memegangi batang pohon, berusaha mengingat-ingat semua kenangan kecil kami.
Menoleh ke arah Marni, ekspresinya berubah sendu. “Marni, ada apa?” aku bertanya hati-hati. “kau mau aku coba lamar kembali?” tanyaku kaku, berusaha membuatnya tersenyum.
Marni masih terdiam sendiri, dengan ekspresi yang tak bisa jelas kumengerti. Mungkin kata-kataku tadi menyinggungnya, sebab kalimat seperti itu memang rancu, apalagi untuk kami yang bukan anak-anak lagi. Tetapi sejujurnya, ada perasaan aneh yang hinggap saat kata-kata terakhir itu kuucapkan, aku tak berani mendeskripsikan lebih jauh.
Marni menghela nafas, terlihat ia sudah mulai angkat bicara. Kemudian.. “Wo, saat aku mengantarmu pergi dulu..” kata-katanya terputus
"jika saat itu kau pinta aku untuk menunggu, akan kulakukan. sungguh. tetapi kau terlalu abu-abu, hanya berdiri di sampingku. tanpa tanda yang bisa kubaca, tanpa rasa yang bisa kupercaya.."
DEG!
Jantungku seakan berhenti sesaat. Mencoba mencerna kata-kata yang baru saja kudengar. Aku mengerti, hanya tak bisa memahami bagaimana itu bisa terjadi, aku tak memikirkan bagaimana perasaan Marni selama ini.
Marni mulai berbicara lagi “setelah kepergianmu, dalam ketidakpastian aku mencari-cari berbagai alasan untuk menunggumu atau melepaskanmu. Lalu kuputuskan untuk mempercayai bahwa perasaan yang kurasakan hanya seperti kertas yang dirobek dalam serpihan. Tak berbalaskan. Mungkin aku salah, tapi kaupun tak menunjukkan padaku bahwa itu benar. Aku hidup dalam kepercayaan yang kubuat sendiri, karena kata yang kutunggu tak juga kudengar darimu..”
Aku masih terdiam. Marni mulai tersenyum kembali, membangun emosinya. “kau pasti kaget, aku mengerti..” kata-katanya terpotong “..aku tak bermaksud apapun, tak juga berharap apapun. Aku hanya ingin kamu tahu, demi egoku.”
Hening..
“bulan depan pertunanganku dilangsungkan, dan pesta pernikahan 3 bulan berikutnya. Aku akan memulai hidup baru, Dewo. Dan aku ingin memulainya dengan hati yang baru. Tidakkah kau berbahagia untukku??” Marni merekahkan senyum, aku masih saja terdiam. Berpikir.
Selama ini aku terlalu nyaman dengan kebersamaan kami. Hingga aku tak pernah khawatir bila suatu hari Marni akan pergi. Tak pernah terpikirkan.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terkunci rapat. Marni tersenyum kepadaku. Dia mengerti aku. Akupun mengerti dia hanya berharap aku bisa berbahagia untuknya. Aku heran mengapa hal ini bisa terasa begitu sulit.
Marni beranjak dari ayunannya, melenggang meninggalkanku yang masih tak sanggup meminta kata. Aku memperhatikan benda yang masih terayun di depanku perlahan. Seperti bandul yang digunakan para penghipnotis jalanan. Aku memang terhipnotis, perintah yang memintaku untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Hingga akhirnya sang bandul berhenti, tinggalah angin berhembus dan daun yang jatuh membelaiku dan buat jantungku berdesir. Getir..
0 komentar:
Posting Komentar